Mohon tunggu...
KKN 35 Desa Sabrang Ambulu
KKN 35 Desa Sabrang Ambulu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kolaboratif

Membersamai Desa Sabrang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dinamika Gender dan Eksegesi Kekuasaan dalam Folklor

14 September 2022   15:28 Diperbarui: 14 September 2022   15:40 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan tentang kekuasaan, pada dasarnya berjalan beriringan dengan konsep tentang gender dan usaha untuk menyetarakannya. Diparitas gender dan peran perempuan dalam struktur masyarakat patriarki ditentukan oleh kekuasaan. Banyak folklor yang menggambarkan secara jelas bagaimana cerita certa rakyat dapat berinteraksi aktif dengan isu tentang kekuasaan, dalam separasi seni, sosial dan konsep identifikasi identitas. 

Folklor seolah tidak berjarak dengan kekuasaan, dan menyatu dalam satu kerangka budaya yang menciptakan impresi khusu di dalam masyarakat. Cerita cerita rakyat merupakan bentuk respon yang terbungkus erat dalam hubungan antara kelompok orang dengan akses yang berbeda untuk mengontrol keadaan mereka (Jorgensen, 2012). Cerita rakyat yang mengandung muatan estetis dan seni memiliki makna penting bagi manifestasi suatu ideologi. Folklor sebagai bagian dari seni dan estetika, merupakan arena sentral di mana kekuasaan sosial terlibat dengan jelas. Dengan kata lain, folklor yang berupa cerita rakyat, pertunjukan, tarian, festival rakyat, dan nyanyian penuh dengan kekuatan dan kekuasaan sosial. Dengan folklor sebagai media, kekuasaan dapat diperebutkan dan diperkuat.

Keyakinan tentang kekuasaan merupakan elemen pembentuk dasar dari cerita rakyat yang melekat di dalam masyarkat, yang beredar di antara kelompok kelompok orang yang hidupnya dibentuk pada tingkat pengalaman sehari hari oleh kekuasaan. Jadi, folklor harus dipahami secara mendasar dengan perhitungan kontekstual tentang jenis jenis kekuasaan yang memberi tahu kelompok kelompok dari mana cerita rakyat muncul dan di mana cerita rakyat beredar. 

Tidak dapat dipungkiri, bahwa folklor, dari lagu anak anak hingga festival rakyat tidak bisa lepas dari relasi kuasa yang masuk ke dalam konten, konteks, dan bentuk folklor tersebut. Folklor yang secara eksplisit membahas hubungan kekuasaan akan sangat bermuatan dan kreatif dalam bagaimana mereka menghadapi peran dan ritual yang terkait dengan kekuasaan. Kekuasaan dipahami sebagai yang memiliki kapasitas untuk menghasilkan konsekuensi yang diinginkan dalam perilaku atau keyakinan orang lain. Ketika ada tujuan untuk menjalankan kekuatan yang berasal dari dalam posisi superior, maka kita berbicara tentang otoritas. Jadi motif yang memandu perilaku ketika menjalankan kekuasaan atau pengaruh adalah yang paling penting untuk membuat penilaian moral mengenai hubungan interpersonal. Ada kemungkinan besar, masyarakat menerimanya karena dianggap sebagai hal yang alami. 

Penjelasan lebih lanjut harus dipahami bahwa, folklor merupakan bentuk manifestasi emosi massa dalam bentuk bentuk tradisi yang terus dilestarikan. Hal ini menyiratkan bahwa segala sesuatu yang terkandung di dalam konten folklor merupakan gabungan dari bagian bagian kecil emosi individu dalam masyarakat, sehingga folklor dapat diterima sebagai bentuk kearifan lokal. Berkaitan dengan kekuasaan, folklor dapat dipahami sebagai bagian dari bayangan emosional masyarakat terhadap kekuasaan yang diinginkan di dalam masyarakat. Suatu bentuk kekuasaan yang ideal atau bahkan sejarah kekuasaan yang merusak. Oleh karena folklor merupakan bagian dari manifestasi emosi massal, maka masyarakat dapat 'mendaur ulang' emosi tersebut untuk digunakan dan dibangkitkan dalam situasi situasi yang menguntungkan. 

Folklor yang bermuatan kekuasaan, dapat dilihat juga pada konsep Ratu Adil, yang secara umum, adalah bagian dari manifestasi emosi masyarakat. Harus dapat dipahami bahwa konsep Ratu Adil yang dibayangkan oleh Raja Jayabaya, merupakan bentuk abstrak dari keinginan masyarakat yang konkret tentang harapan memiliki seorang Ratu atau pemimpin yang adil. Emosi massa diregulasikan dalam bentuk bentuk folklor yang mencerminkan harapan masyarakat. sebagaimana yang disampaikan, bahwa emosi massa dalam folklor akan terus 'didaur ulang' dan digunakan dalam situasi situsi tertentu. Hal ini lebih jauh dapat dijelaskan dalam fenomena fenomena kampanye kekuasaan yang mengandalkan folklor tentang Ratu Adil sebagai pondasi utamanya. 

Salah satu yang bisa disorot adalah kisah pemberontakan APRA atau Angkatan Perang Ratu Adil. Pada tahun 1950, seorang tentara Belanda bernama Raymond Westerling mengambil gelar Ratu Adil sebagai taktik untuk menyulut kudeta terhadap pemerintahan Soekarno. Westerling mengumpulkan berbagai fraksi yang kontra dengan pemerintahanIndonesia dan fraksi-fraksi yang condong ke pemerintahan federal, untuk membentuk sebuah angkatan perang. Angkatan perang ini mengambil nama Angkatan Perang Ratu Adil atau disingkat APRA dengan Westerling sebagai pemimpin (Ratu Adil). 

Dalampemberontakan APRA, Westerling menggunakan momentum kondisi Indonesia yangmasih tercerai berai dan ketimpangan antara pemerintahan yang cenderung jawa sentris.Mempersembahkan diri sebagai juru selamat, untuk fraksi-fraksi oposisi pemerintahanSoekarno (Kahin, 1952) HOS Tjokroaminoto memiliki latar yang serupa dengan Soekarno dalam mendapatkan gelar Ratu Adil. Tjokroaminoto merupakan sosok pemimpin Sarekat Islam (SI) yang dimana pada saat itu berubah tujuannya dari organisasi ekonomi yang dibentuk untuk bersaing dengan pedagang tionghoa. Menjadi organisasi politik nasionalis yang menuntut pemerintahan mandiri dari kolonial Belanda (Britannica, 2022). Seperti Soekarno, Tjokroaminoto dipandang sebagai harapan bagi masyarakat Indonesia pada saat itu, walau tidak memiliki dampak yang sama.

Penggunaan folklor tentang sosok Ratu Adil dalam kasus di atas terbukti sangat efisien untuk menarik simpatisan untuk bergabung dalam angkatan perang tersebut. masyarakat dengan pengetahuan bawaan dan harapan akan datangnya Ratu Adil dengan mudah menerima mereka sebagai apa yang diramalkan oleh Jayabaya sebagai penyelamat dan pemberi kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

Apabila kita melihat pada konteks kontemporer kekinian, terutama kasus pemerintahan di Indonesia, tentang wacana tiga periode. Pada awal kepemimpinan, Jokowi juga dianggap sebagai manifestasi Ratu Adil yang ditunggu masyarakat untuk mensejahterakan Indonesia. Dengan latar belakang yang berasal dari rakyat kecil, membuat masyarakat seolah terwakilkan dengan diangkatnya Jokowi sebagai perwakilan rakyat kecil untuk menjadi Ratu di Indonesia. Beberapa kalangan yang fanatik, yang masih terkurung dalam hegemoni ilusi kekuasaan yang dibentuk ole h cita cita Ratu Adil, masih berusaha mempertahankan Jokowi yang dianggap representasi Ratu Adil yang selama ini dicari. Wacana Ratu Adil sebagai salah satu folklor, bisa digunakan sebagai media paling efektif untuk mempertahankan kekuasaan atau bahkan meruntuhkan kekuasaan yang telah berdiri. Hal ini secara jelas menggambarkan bahwa folklor selalu memiliki muatan yang berorientasi pada keinginan dan harapan masyarakat yang terus berusaha dicari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun