Namun aku harus patah hati. Semua karena teknologi. Aku kalah pada peradaban, yang berubah dengan begitu cepat.
Mungkin aku terlalu berat, terlalu membebani untuk dibawa. Bisa jadi aku terlalu membosankan, tak tahan lama dan cepat melakukan perulangan. Ya jelas saja, satu kaset paling banyak hanya sepuluh sampai dua belas lagu paling.
Pada akhirnya, Andro memilih mengistirahatkanku. Meletakkanku di nakas samping kasurnya. Aku tetap menjadi saksi hidupnya, walau kini tak turut menemani. Hanya melihat dari jauh.
Aku harus melihat Andro menyambungkan beragam perangkat pintar di kamarnya. Dan secara ajaib suara bergema muncul. Alunan musik masa kini yang kerap Andro pilih sesuai moodnya saat itu.
***
Aku menjadi benci pada waktu, yang terlalu banyak membawa perubahan. Setelah patah hati, aku kini ditinggal pergi.
Aku berhenti menjadi saksi kehidupannya setiap hati. Ketika ia mulai mengubah status menjadi suami. Keluat dari rumah untuk hidup bersama keluarga barunya.
Mungkin aku hanyalah kenangannya di masa lalu. Paling tidak aku masih di kamar ini. Walau sekarang terasa begitu sepi, pengap, dan gelap.
***
Seandainya aku bisa bergerak sendiri, aku ingin berlari dan memeluk Ayah Tedjo. Ketika beliau datang menjengukku di kamar ini.
Dia mulai membelaiku. Mungkin cukup terpana ketika aku masih bisa mengeluarkan suara cukup baik dari kaset Bimbo yang ayah coba.