Mohon tunggu...
Faridilla Ainun
Faridilla Ainun Mohon Tunggu... Human Resources - Ibu-ibu kerja

Ibu yang suka ngaku Human Resources Generalist dan masih belajar menulis. https://fainun.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ruminten yang Merasa Kehilangan Identitas

19 Februari 2020   15:41 Diperbarui: 19 Februari 2020   16:35 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Ruminten, anak Bapak dan Simbok satu-satunya. Kata orang, menikah itu bahagia. Benarkah? Kenapa aku belakangan merasa tersiksa setelah menikah?

Dulu, menginjak usia 29 tahun, semua orang di sekitar mulai bertanya kenapa aku belum menikah. Sampai di satu titik semua mulai mencoba menjodoh-jodohkan dengan teman, keponakan, dan entah siapa yang belum nikah juga. Sebahagiakah itukah menikah? Atau hanya atas dasar akan menjalankan ibadah maka menikah jadi bahagia? Entahlah.

Pada akhirnya di usia hampir 34,aku akhirnya menikah. Namun, rasanya, kebahagiaan setelah menikah tak berimbang dengan awan hitam yang menyelimuti diriku sehari hari. Ternyata benar hasil survey BPS, mungkin menjadi lajang lebih bahagia. Nyatanya indeks kebahagiaan menurun setelah menikah.
Suamiku Sartono, adalah pegawai kantoran. Pangkatnya cukup tinggi, saat ini sudah menjadi Asisten Manager. Sebagai, istri yang berbakti pada suami, aku pun berusaha siap mendukung aktivitas suami dalam bekerja. Tak hanya urusan menyiapkan baju dan makanan saja, ketika ada arisan perkumpulan istri-istri dari karyawan di kantor suami, aku pun bersedia turut andil.

Arisan istri karyawan adalah hal yang konon penting diikuti. Katanya bisa mendukung karir suami. Toh, karir suami bagus, bisa menjadi kebahagiaan istri juga kan? Bisa jadi uang belanjaku semakin besar.

Walaupun begitu, kadang aku merasa risih dan kecewa. Aku selalu dipanggil Nyonya Sartono. Ah, namaku Rumi, tak bisakah kita saling menyapa dengan nama? Toh suami kita tak ada di momen arisan ini.

Namun, permintaanku untuk memanggil nama asliku tak diindahkan. Semua tetap memanggilku dengan sebutan Nyonya Sartono. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain memanggil peserta arisan lain dengan sebutan Nyonya atau Ibu yang diikuti nama suaminya. Demi tetap aktif dan dianggap dalam perkumpulan ini.

Aku mengalah. Panggilan Nyonya Sartono mungkin akan memudahkan pesera perkumpulan ini bahwa ia adalah istri Pak Sartono. Pak Sartono yang Asisten Manager, Pak Sartono yang karirnya menanjak terus. Pak Sartono yang ganteng dengan rambut ikalnya. Loh, kok ibu-ibu ini ngomongin suami orang.

Hari berganti, akupun kini telah memiliki anak, Hardyna namanya. Telah tiba saatnya Dyna masuk sekolah. Siapa yang tak bahagia ketika melihat anak juga ceria di sekolah. Namun, di sekolah ia hanya dikenal dengan sapaan Mama Dyna. Tak hanya teman-teman anaknya yang memanggilnya Mama Dyna. Guru, penjaga sekolah, dan orang tua murid lainnya memanggilnya Mama Dyna.

Ah, mungkin memang sebutan Mama Dyna akan memudahkan. Ketika Dyna menang lomba, ia akan ikut disebut-sebut, Mama Dyna hebat juga ya.

Ruminten baru sadar, ketika menikah, khususnya perempuan, akan kehilangan identitasnya. Pantas saja kalau mengisi formulir di bank ia ditanya nama gadis ibu kandungnya. Ternyata ini alasannya. Setelah menikah, mungkin Ruminten dan perempuan lain sama-sama merasakan, bahwa mereka akan jarang dipanggil dengan nama gadis mereka. Kecuali di kelompok pertemanan tanpa embel-embel suami dan anak.

'Namaku Rumi, nama indah penuh makna pemberian Bapak dan Simbok. Jika bertemu, tolong panggil aku Rumi'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun