Seorang pelayan masyarakat dengan pangkat wakil bupati di Jawa Barat mengunggah sebuah postingan yang menggemparkan, adanya program tentang Sekolah Ibu. Namun, sayang seribu sayang, kalimat pembuka diawali dengan catatan sebuah perceraian sebelum membawa masuk ke ide program Sekolah Ibu.
Mungkin pernah ada yang melihat sekilas tentang Mr. Right dan Mrs. Always Right, atau Mr. Always Wrong dan Mrs. Always Right. Tuh kan, kenapa Cuma wanita sih yang disalahkan?
Secara tak langsung, ide sekolah ibu yang dikaitkan dengan kasus perceraian tentu agak mengganjal. Membina hubungan tentu bukan hanya urusan para ibu atau wanita semata pak.
Peran aktif suami sekaligus bapak juga penting. Ini keluarga, ini pernikahan, dibangun berdua bos! Lalu kenapa hanya ibu saja yang dituntut untuk sekolah? Apakah seorang bapak tak perlu sekolah?
Seorang teman pernah bercerita bahwa ia harus mendatangi kelas pra nikah bersama calon suami. Ini adalah sebuah kewajiban dalam agamanya. Kelas pra nikah membawa pasangan yang berencana menikah untuk lebih memahami seluk beluk pernikahan nantinya. Tak selamanya mulus, bisa saja melalui kelas ini kesiapan diuji. Kalau tak siap, mungkin pernikahan diundur atau malah berujung putus.
Namun, adanya kelas seperti ini tentu membantu memahami pernikahan, segalanya dibahas blak-blakan, termasuk urusan keuangan dan keturunan. Pandangan untuk menyikapi permasalahan akan ujian yang mungkin datang saat pernikahan benar-benar dicari.
Perceraian mungkin baiknya dihindari. Kalaupun harusnya dihadapi, edukasi untuk menghadapinya pun harus diberikan. Kelas pra nikah inilah yang menurut saya lebih baik untuk dicanangkan. Kalaupun mau sekolah ibu, sertakan juga sekolah bapak dong biar adil.
Budaya Patriarki yang masih melekat dengan menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan lebih dominan mungkin jadi alasan. Kenapa perceraian selalu menjadi salah perempuan. Ibu yang tak becus mengurus suami, ibu yang tak becus mengelola keluarga, ibu yang tak punya penghasilan atau tak pandai mengelola keuangan.