Mohon tunggu...
Ainul Ikhsan
Ainul Ikhsan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisi Kebijakan Pemerintah dalam Menetapkan Upah dengan Pandangan Ibnu Khaldun

10 Januari 2018   20:41 Diperbarui: 11 Januari 2018   23:01 6122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Apa yang berlaku dalam harga barang maka berlaku juga dalam upah pekerjaan, karena tidak ada perbedaan di antara keduanya. Ikut campur dalam penentuan harga barang, juga seperti ikut campur dalam penentuan upah kerja, karena terpadunya masing-masing dari keduanya dalam makna penjualannya, sebab dalam pasar barang terjadi penjualan harga, sedangkan di pasar kerja terjadi penjualan pemanfaatan (jasa).[1]

Apabila diperhatikan kecenderungan yang terjadi dewasa ini, bahwa pemberi kerja/pengusaha/majikan sudah jarang sekali memperhatikan kebutuhan para pekerjanya, dan lazimnya mereka selalu berhasrat untuk memperkaya diri sendiri di atas kesengsaraan orang lain (pekerjanya). 

Untuk menghindari kesewenang-wenangan dan penindasan, dan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat, pihak negara (pemerintah) harus memberikan perhatian terhadap upah minimum yang harus diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerjannya, sebab kesejahteraaan masyarakat sangat menentukan terhadap stabilitas sosial dan negara.[2]

Tujuan pemerintah ikut serta dalam mengatur dan menetapkan standar upah adalah untuk menjaga supaya tidak terjadi pemerasan dan eksploitasi tenaga kerja oleh para majikan.[3] Tujuan lainnya ditetapkanya upah minimum ini adalah :

  • Untuk menonjolkan arti dan peran tenaga kerja (buruh) sebagai sub sistem dalam suatu hubungan kerja.
  • Untuk melindungi kelompok kerja dari adanya sistem pengupahan yang sangat rendah dan secara materil kurang memuaskan.
  • Untuk mendorong kemungkinan diberikannya upah yang sesuai dengan nilai pekerjaan yang dilakukan.
  • Untuk mengusahakan terjaminnya ketengangan dan kedamaian kerja dalam perusahaan.
  • Mengusahakan adanya dorongan peningkatan dalam standar hidup secara normal.

Ibn Khaldun dianggap sebagai tokoh ekonomi yang menekankan kebebasan berwirausaha dan menentang campur tangan pemerintah pada mekanisme pasar seperti halnya Adam Smith. Anggapan demikian misalnya dikemukakan oleh E.M. Sattar dengan menjadikan kebijakan pembebanan pajak yang tidak wajar atau keterlibatan langsung pemerintah dalam produksi dan perdagangan sebagai contoh bentuk campur tangan pemerintah.  Memang Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa keterlibatan penguasa dalam aktivitas ekonomi warga dapat menjatuhkan perekonomian secara umum. Tetapi pandangan yang demikian tidak harus berimplikasi pada penyimpulan bahwa Ibn Khaldun adalah penganjur pasar bebas. Justru Ibn Khaldun mengingatkan  bahaya pasar bebas dengan menunjukkan bahwa pada dasarnya tabiat para pelaku pasar/pedagang cenderung ingin memaksimalkan keuntungan dengan berbagai cara dan strategi yang terkadang mengabaikan aspek moral. Jika tidak ada pemegang otoritas (dalam hal ini negara atau pemerintah) yang dapat   mengendalikan   sisi   negatif pasar, Ibn Khaldun mengkhawatirkan banyaknya tindakan eksploitatif dalam perekonomian masyarakat.[4]

Ali Murtadho menyatakan bahwa negara (pemerintah) dalam pandangan Ibn Khaldun berfungsi sebagai penjamin  agar tidak ada tindakan aniaya dan perampasan hak di antara warga dalam aktivitas kehidupan warga termasuk di dalamnya aktivitas  ekonomi. Manusia dikatakan oleh Ibn Khaldun memiliki tabiat  hewani yang kalau tidak ada yang mengatur akan terjadi  pembenturan kepentingan  dan kebutuhan antara  satu  dengan yang lainnya,  layaknya  hewan  yang  saling  menyerang  untuk  memenuhi kebutuhan masing-masing.  Penjaminan penegakan hukum ini,  akan memberi ruang yang mendukung aktivitas ekonomi warga. Kegiatan ekonomi diatur dalam semangat kerjasama dalam bingkai Assabiyyah (solidaritas sosial).[5]

Menurut Yanto ( mahasiswa IAIN IB Padang) dalam skripsinya yang berjudul Penetapan Upah Minimum Regional Oleh Pemerintah Menurut Hukum Islam, ada beberapa dalil yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam penetapan upah buruh ini :

1. Tanggung jawab pemerintah sebagaimana tergambar dalam tanggung jawab imam (pemimpin/pengusaha) dalam Islam merupakan tanggung jawab yang mutlak, tanpa terikat dalam sesuatupun. 

 Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda : Artinya :masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinanya. Pengusaha adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.

2. Menegakan keadilan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu tujuan luhur dalam Islam. Karena keadilanlah langit dan bumi ditegakkan, dan untuk keadilan pula Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab suci-Nya. Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 58 :

 Artinya :Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.... (An-Nisa': 58)

Oleh karena itu, setiap bentuk undang-undang dan peraturan yang dimaksudkan untuk menegakan keadilan dan menghilangkan kezaliman disambut baik oleh syari'at

3. Syariat Islam berusaha untuk mencegah kemudharatan yang akan terjadi pada seseorang yang akan menimbulkan mudharat terhadap orang lain, bahkan berusaha untuk menghilangkan kemudharatan yang telah terjadi. Prinsip ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh yang berbunyi :

 " tidak boleh membuat mudharat bagi orang lain dan merugikan diri sendiri."

4.  Bahwa Siyasah  Syar'iyyah dalam fiqh Islam merupakan pintu yang luas bagi pemerintah Islam. Dari pintu ini pemerintah Islam dapat masuk untuk mewujudkan kemaslahatan yang dipandangnya Munasibah (patut) dengan membuat peraturan dengan mengambil tindakan penyelamatan yang dipandangnya mampu memperbaiki kondisi tertentu, selama tidak bertentang dengan nash yang tegas dan kaidah yang jelas. Dengan demikian, segala sesuatu yang lebih mendekatkan kepada kemashlahatan dan menjauhkan kerusakan, berhak dilakukannya, bahkan kadang-kadang wajib, meskipun tidak terdapat nash yang khusus untuk itu. Oleh karenanya para sahabat dan Al-Khulafa Ar-Rasyidin melakukan berbagai macam tindakan yang mereka anggap baik dan maslahat, meskipun hal itu tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya dan tidak ada nash tertentu yang menjelaskan.[6]

Dari ungkapan di atas apabila dihubungkan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam penetapan upah buruh atau yang lebih dikenal dengan upah minimum yang tujuannya untuk menghindari berbagai ketidakadilan yang dirasakan oleh buruh dan jangan terjadi eksploitasi tenaga kerja yang berlebihan.Maka penetapan upah minimum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak bertentangan dengan pemikiran ekonomi Ibn Khaldun yang didasarkan pada azas "Maslahah Mursalah" dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan dari masyarakat serta menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman, mencegah sebab-sebab yang menjadikan pertentangan dan pertengkaran menolak mudharat yang akan terjadi pada salah satu pihak.

Ibnu Khaldun penganut mahzab Imam Malik, Maslahah Mursalahmenurut mahzab ini adalah mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan mafsadah (kerusakan), Maslahah Mursalahmerupakan salah satu dari sumber hukum dan sekaligus hujjah syari'ah. Ada beberapa alasannya, yaitu sebagai berikut :[7]

1. Menurut mahzab ini, seperti yang dijelaskan oleh Abu Zahra, bahwa para sahabat telah menghimpun Alqur'an dalam satu mushaf, dan ini di lakukan karena khawatir Alqur'an bisa hilang, hal ini tidak ada pada nabi dan tidak ada pula larangannya. Pengumpulan Alqur'an dalam satu mushaf ini semata-mata demi kemaslahatan..

2. Sesungguhnya para sahabat telah menggunakan Maslahah Mursalahsesuai dengan tujuan syara' maka harus diamalkan sesuai dengan tujuan itu.  Jika mengenyamping berarti telah mengenyampingkan tujuan syari'at adalah batal dan tidak pula diterima.

3. Menurut Zaky al-Din Sya'ban bahwa sesungguhnya tujuan persyari'atan hukum adalah untuk kemaslahatan dan menolak timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia.

Jika dikaitkan dengan penetapan upah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, kebijakan pemerintah ini membawa kemaslahatan bagi para pekerja/buruh dan tidak merugikan pengusaha/majikan karena kebijakan pemerintah ini merupakan penengah antara buruh dengan majikan kalau tidak ada kebijakan dari pemerintah, para pengusaha/majikan akan sewenang-wenang terhadap kesejahteraan buruh/pekerja yang mereka miliki.

[1]Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, 2006, Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khatab, Jakarta, Khalifa

[2]Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, 1994, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika

[3]Kirdi  Dipoyudo,1995, Keadilan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali

[4]Ali Murtadho, 2010,  Kajian Pengangguran Dalam Perspektif Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun, Disertasi Pada UIN Hidayatullah Jakarta

[5]Muhlis Usman, 1997, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah , Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada

[6]Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), jilid 1

[7] Romli, 1999, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun