Dalam laju modernisasi yang tak terbendung, kita sering lupa bahwa eksistensi manusia tak terlepas dari alam. Ketergantungan kita pada alam seringkali tertutupi oleh gemerlap teknologi dan hiruk-pikuk perkotaan. Namun, saat ini, alam seolah berteriak meminta perhatian kita melalui perubahan iklim, bencana alam, dan kepunahan spesies. Di tengah krisis lingkungan ini, sastra muncul sebagai jembatan yang menghubungkan kembali manusia dengan alam, sekaligus sebagai cermin yang memantulkan kemanusiaan kita.
Sastra dan lingkungan bukanlah dua entitas terpisah. Sejak zaman purbakala, alam telah menjadi inspirasi dan latar dari berbagai karya sastra. Dari puisi-puisi Wordsworth yang memuji keindahan alam (Bate, 1991), hingga novel "Walden" karya Henry David Thoreau yang mengajak kita merenungi kesederhanaan hidup di tepi danau (Thoreau, 1854), sastra telah lama menjadi corong bagi suara alam. Namun, seiring dengan perubahan zaman dan degradasi lingkungan, peran sastra dalam isu lingkungan semakin kritis.
Lahirlah ekopoetik, sebuah pendekatan yang mengkaji hubungan antara sastra, manusia, dan lingkungan (Glotfelty & Fromm, 1996). Ekopoetik tidak sekadar mengagungkan keindahan alam, tetapi juga mengkritisi perilaku manusia yang merusak lingkungan. Puisi-puisi ekopoetik, misalnya, sering kali membahas isu-isu seperti deforestasi, polusi, atau pemanasan global. Melalui metafora dan citra yang kuat, ekopoetik mencoba membangkitkan kesadaran bahwa tindakan kita terhadap alam memiliki konsekuensi yang nyata.
Dalam ranah yang lebih populer, film seperti "Avatar" karya James Cameron juga mengangkat tema serupa. Film ini tidak hanya menyajikan pemandangan planet Pandora yang menakjubkan, tetapi juga mengkritik kolonialisme dan eksploitasi sumber daya alam (Adamson, 2012). Melalui karakter Na'vi yang hidup harmonis dengan alam, "Avatar" mengajak kita merenungkan kembali hubungan kita dengan lingkungan dan sesama makhluk hidup.
Sastra dan film seperti ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan. Mereka mampu menyentuh emosi pembaca atau penonton, membuat isu-isu lingkungan yang sebelumnya abstrak menjadi personal dan mendesak. Ketika kita terhubung secara emosional dengan alam melalui karya sastra, kita lebih cenderung untuk bertindak melindungi alam (Weik von Mossner, 2017).
Lebih jauh lagi, sastra juga menjadi cermin bagi kemanusiaan kita. Bagaimana kita memperlakukan alam seringkali mencerminkan bagaimana kita memperlakukan sesama manusia. Eksploitasi terhadap alam sering kali berjalan beriringan dengan eksploitasi terhadap kelompok-kelompok marjinal. Sastra yang berpihak pada lingkungan, dengan demikian, juga sering kali menyuarakan keadilan sosial.
Namun, sastra bukanlah obat mujarab. Ia harus dibarengi dengan tindakan nyata. Setelah membaca puisi tentang deforestasi, kita perlu menanam pohon. Setelah terharu oleh film tentang pencemaran laut, kita perlu mengurangi penggunaan plastik. Sastra memberikan inspirasi dan arah, tetapi kitalah yang harus melangkah.
Dalam pusaran krisis lingkungan dan kemanusiaan yang kita hadapi saat ini, peran sastra menjadi lebih penting dari sekadar hiburan atau kajian akademis. Ia adalah panggilan untuk kembali ke akar, untuk mengakui bahwa eksistensi kita, sebagai manusia, terikat erat dengan alam. Melalui kekuatan kata-kata dan cerita, sastra mengajak kita merajut kembali harmoni yang telah lama hilang antara manusia, sastra, dan alam. Dalam rajutan ini, terletak harapan bagi masa depan yang lebih hijau dan manusiawi.
Referensi:
Adamson, J. (2012). Indigenous Literatures, Multinaturalism, and Avatar: The Emergence of Indigenous Cosmopolitics. American Literary History, 24(1), 143-162.
Bate, J. (1991). Romantic Ecology: Wordsworth and the Environmental Tradition. Routledge.