Mohon tunggu...
Aini Shalihah
Aini Shalihah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Hukum/Pegiat Hukum Tata Negara

Pendidikan terkahir Master degree (S2) Hukum Tata Negara. Saya suka membaca dan menulis, serta sudah ada beberapa tulisan saya yang publish di Jurnal ber-ISSN dan Jurnal terakreditasi Nasional.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menakar Polemik Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu, Memperkuat Impunitas?

1 Juli 2023   06:44 Diperbarui: 1 Juli 2023   07:07 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: google.com

Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), hal ini tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan Konstitusi. Tidak hanya itu, hak asasi manusia yang dianut Indonesia juga bersumber dari Pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara. Secara konseptual HAM yang terkandung dalam Pancasila mengakomodasi aspek manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Pengakuan tentang HAM secara prinsipial tercermin dalam sila kedua (Pancasila) yang berbunyi "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Sila ini menunjukkan bahwa nilai hidup yang dipegang oleh masyarakat Indonesia secara umum adalah kemanusiaan yang adil menurut hukum, dan beradab sehingga seimbang dalam prakteknya. 

Dalam perjalanan sejarah, HAM menjadi perhatian publik yang tidak bisa dihindarkan. Pasalnya, kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu masih menjadi luka bagi Indonesia sampai saat ini. Ada beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti: penanganan Aceh, Maluku, Poso, Papua, Semanggi dan Tanjung Priok. Dalam hal ini, pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM terus diupayakan. Namun, hanya sekedar diupayakan belum terlaksana. Merujuk pada pasal 12 UU nomor 39 tahun 1999 disebutkan bahwa: "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia". Secara umum tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada Undang-undang ini adalah: hak untuk hidup; hak untuk berkeluarga; hak untuk mengembangkan diri; hak untuk memperoleh keadilan; hak atas kebebasan pribadi; hak atas rasa aman; hak atas kesejahteraan; hak turut serta dalam pemerintahan; hak wanita; hak anak, orang tua dan usia lanjut.

Pada Agustus 2022 lalu, pemerintah dalam hal ini Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 (KEPPRES No.17 Tahun 2022) Tentang Pembenrukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Masa Lalu. Melalui kebijakan ini, menjadi awal langkah pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden Jokowi menyebutkan bahwa ada 12 kasus yang akan pemerintah tangani dalam proses penyelesaian secara non-yudisial yaitu: Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Tragedi Talangsari (1989), Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Penculikan Aktivis (1997-1998), Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II (1998-1999), Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999), Tragedi Simpang KKA (1999), Tragedi Wasior (2001-2002), Tragedi Wamena (2003), dan Jambo Keupok (2003).

Merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 (KEPPRES No.17 Tahun 2022) Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu bahwa penyelesaian non-yudisial adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM tanpa melalui jalur hukum. Alih-alih mengadili pelaku pelanggaran HAM, metode ini justru menekankan pemulihan korban melalui berbagai bantuan materiel.
Pasal 3
Tim PPHAM mempunyai tugas:
a. melakukan pengungkapan dan upaya
penyelesaian non-yudisial pelanggarar hak asasi
manusia yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sampai dengan tahun 2O2O;
b. merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya; dan
c. merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak terulang lagi di rnasa yang akan datang.
Pasal 4
Rekomendasi pemulihan bagi korban atau
keluarganya sebagainana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dapat berupa:
a. rehabilitasi fisik;
b. bantuan sosial;
c. jaminan kesehatan;
d. beasiswa; dan/atau
e. rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.

Nampaknya, dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut bisa dikatakan untuk saat ini pemerintah mengutamakan penyelesaian non-yudisial dengan cara alternatif untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Melalui KEPPRES No.17 Tahun 2022 menjadi jawaban bahwa persiapan pemerintah dalam menangani kasus-kasus HAM berat dengan cara non-yudisial sudah matang. Begitu banyak persiapan yang dilakukan pemerintah mulai dari membentuk Tim Pelaksana sampai program-program yang akan dijalankan selama pelaksanaan. 

Pada 27 Juni kemarin, pemerintah memulai pelaksanaan kebijakan tersebut (KEPPRES No.17 Tahun 2022) yang bertempat di Aceh. Dengan harapan, semoga penyelesaian non-yudisial ini bisa mengurangi luka keluarga korban. Namun, kebijakan yang pemerintah lakukan menuai polemik. Bagaimana tidak, menurut pandangan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan bahwa:
• Pembedaan antara metode yudisial dan nonyudisial merupakan kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan di Indonesia.
• Metode penyelesaian non-yudisial tidak lebih dari upaya pemerintah untuk memperkuat impunitas dan mengabaikan hak-hak dasar korban. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik hukum dari ketentuan yang sudah ada dan sudah berjalan.

Lalu, mengenai tanggapan pemerintah melalui bapak Menkopolhukam selaku Tim ketua PPHAM menyampaikan bahwa (dilansir dari kanal Youtube Kompas.TV pada tanggal 23 Juni 2023): 

• Penyelesaian non-yudisial ini merupakan langkah awal pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM berat di Masa lalu.
• Ada 12 kasus HAM berat yang akan pemerintah tangani dan akan dimulai di Aceh.
• Serta penyelesaian non-yudisial tidak menutup proses penyelesaian di jalur yudisial.

 Dari berbagai pandangan yang telah disampaikan, ini menjadi suatu catatan penting dan semoga saja pemerintah memang tidak menutup proses secara yudisial. Karena negara kita memiliki Komnas HAM yang bertugas untuk mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM. Melalui lembaga ini, proses yudisial bisa berjalan dengan baik asalkan peran Komnas HAM bisa mengumpulkan data-data terkait pelaku-pelaku yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan yang nantinya bisa dibawa ke Kejaksaan Agung untuk diadili melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun