Mohon tunggu...
Aini Farida
Aini Farida Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Hidup adalah pengabdian. Berusaha ikhlas untuk mendapat ridho Ilahi

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ceritaku di saat Arus Balik Berlangsung

21 April 2024   10:27 Diperbarui: 21 April 2024   22:42 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mudik pada tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.  Ada agenda khusus  sebagai tujuan utama sedangkan mudik sebagai penyerta. Dengan demikian durasi mudik yang saya lakukan agak lama, baru tanggal 19 April kemarin kami pulang. Kok bisa, bagaimana ceritanya? Yok,  ikuti!

Sebenarnya Tujuan utama saya adalah mendaftarkan anak di Ponpes Gontor Jawa Timur. Karena bertepatan dengan lebaran, maka sekaligus silaturahmi dengan keluarga besar sangatlah tepat.  Pada hari ke-5  lebaran di saat Arus Balik berlangsung kami memutuskan untuk mengantarkan anak ke pondok yang berlokasi di Ponorogo. Dalam perjalanan yang menjadi fokus perhatian adalah kondisi alam. Maklum, alam pegunungan lama tidak saya nikmati, karena di Sampit bukan daerah berbukit, melainkan dataran rendah dengan aliran pasang surut air laut. 

Sambil menyelam minum air,  di tengah lalu lalang kendaraan di jalur tersebut, menjadikan rekreasi gratis. Kemegahan pegunungan dan terjalnya jurang menukik ke bawah membuat hati berdesir. Namun terlihat juga banyak rumah penduduk terlihat dari kejauhan berjajar rapi bak jamur  warna-warni menunjukkan keberadaannya.   Pada titik tanjakan tertinggi memberikan kesan tersendiri, saya sempat berfikir betapa susahnya saat pembangunan lintas jalur Trenggalek-Ponorogo.


Sampailah kami  di tempat tujuan yakni tempat pendaftaran di mana anak  akan menuntut Ilmu. Dengan aktifitas yang agak padat memenuhi persyaratan dan perlengkapan keperluan sehari-harinya nanti seperti: sabun,  pasta gigi, shampo, ember, dan makanan ringan. Tidak banyak aktivitas yang kami lakukan, hanya menunggu proses di masjid pondok sambil menunggu datang sholat ashar tiba. 

Sumber gambar: dokpri
Sumber gambar: dokpri

Sebenarnya kekhawatiran datang secara tiba-tiba, perasaan tidak tega namun selalu saya kuatkan, karena banyak kawan seperjuangan nya yang sama-sama menimba Ilmu. Setelah urusan selesai, anak harus ditinggal orang tua sudah tidak boleh lagi bermukim pantauan dari jauh kami lakukan. Selang beberapa saat ada tiga anak dengan akrabnya berjalan keluar ruangan. Oya .. ya, salah satunya adalah anak saya, ternyata mereka sudah akrab sekali. Kalau tidak salah mereka anak yang berasal  dari NTT. Alhamdulillah cepat melakukan penyesuaian. 

Kami memutuskan untuk meluncur ke Trenggalek (tempat saudara)  sebelum malam tiba,  mengingat medannya begitu susah. Berkendara di malam hari sangat beresiko. Begitu juga Kendaran umum pun tidak setiap saat tersedia. 

Ikut Lebaran Ketupat di Trenggalek

Sumber gambar; dokpri
Sumber gambar; dokpri

Sejak  tinggal di Sampit, saya tidak pernah mengikuti lagi lebaran ketupat yang ada di Trenggalek. Momen ini tidak akan kami sia-siakan sehingga sejak keberangkatan sengaja mengambil cuti kerja selama 5 hari. Hal tersebut untuk mengantisipasi susahnya mendapatkan tiket karena arus balik begitu padat. 

Lebaran ketupat dirayakan setelah seseorang berpuasa Syawal selama 6 hari yang dimulai pada tanggal 2 bulan Syawal tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Lebaran ketupat di Trenggalek bermula di Kecamatan Durenan, dipelopori oleh buyut kami yang bernama Mbah Mesir. Menurut informasi yang saya peroleh bahwa tradisi ini sudah ada sejak pertengahan abad 19, konon di cetuskan oleh Kanjeng Sunan Kalijogo. Kata Mbah Buyut kami, Mbah Safari ( almarhum), "Ketupat artinya ngaku lepat ( mengaku salah) dan laku papat (tindakan empat)" . Sesama makhluk kita tak luput dari salah dengan sesama. Itulah pentingnya laku lapat yakni lebaran , luberan, leburan dan laburan. Lebaran berarti kita telah menunaikan ibadah puasa lalu kita laksanakan luberan yang berarti berbagi dengan sesama khususnya fakir miskin berupa pembayaran zakat dan sedekah. Selanjutnya kita laksanakan silaturahmi dengan orang tua, kerabat, tetangga, sanak keluarga untuk saling memaafkan. Setelah tiga hal tersebut barulah Laburan,  kita kembali putih bersih dari segala dosa. Hal Inilah yang merupakan makna Idul Fitri.

Saat ini tradisi lebaran ketupat tidak hanya di Kecamatan Durenan, namun sudah meluas sehingga menjadi tradisi budaya Trenggalek. Karena tradisi tersebut sudah mengakar, banyak masyarakat yang menghentikan aktifitas kerja. Toko-toko sebagian besar menutup aktifitaanya, sehingga  saya akan membeli barang untuk persiapan balik agak susah. 

Lebaran ketupat tidak kalah meriahnya dengan pada hari pertama lebaran. Bahkan lebih padat aktifitaanya karena berpusat pada suatu tempat. Di Durenan masyarakat berduyun-duyun ke arah utara melintasi jembatan sungai Ngasinan ke arah Desa Semarum dan Pakis. 

Sumber gambar; dokpri
Sumber gambar; dokpri

Di sepanjang jalan penuh dengan iring-iringan sepeda motor. Semarak lebaran pun lebih mengasyikkan dengan hiasan  kain warna warni dipercantik dan penuh gemerlap  lampu hias. Apalagi jika dinikmati pada malam hari. Hal tersebut  sudah dipersiapkan masyarakat  sebelum lebaran.

Sambil menikmati lebaran ketupat saya menyusuri jalan menuju kota Trenggalek. Pusat perbelanjaan masih dalam kondisi lengang. Hanya satu dua toko memajang dagangannya misalnya toko jajanan/oleh-oleh khas Trenggalek dan warung. Saat itu saya akan membeli tas untuk di perjalanan saat pulang,  karena suami masih bertahan di Trenggalek menunggu anak dalam proses tes masuk hingga penempatan di pondok. Alhamdulillah tas itupun terbeli tepat di pusat kota Trenggalek. Itupun hanya satu toko yang saya temui. 

Menikmati  Perjalanan Balik

Tepat hari ke 10, sesuai jadwal tiket pesawat yang sudah terbooking berangkat pukul 11.45 WIB. Saya berangkat dari Durenan sengaja lebih awal yakni pukul 03.00 WIB dengan harapan sampai Surabaya masih masih pagi, sehingga perasaan lebih tenang.  Naasnya bus jurusan yang dari Trenggalek ke Tulungagung tidak muncul-muncul sehingga terpaksa saya menelpon saudara untuk diantar sampai terminal Tulungagung. Begitu keluar dari mobil,  kaki saya keseleo, Oalah.. apes kedua kalinya, mungkin kurang tenang itu kali.. Maklum saat berangkat rombongan, saat ini harus sendirian. 

Arus balik pada hari tersebut seperti yang masih padat. Hal tersebut ditandai dengan susahnya mencari tiket baik transportasi udara maupun transportasi laut.  Kemarin Sebelum membeli tiket, semua aplikasi berbasis online saya lacak,  dari PELNI, DLU hingga tiket.com untuk mendapatkan alternatif balik ke rumah. Link pemesanan tiket sudah tertutup dan tersedia pada jadwal hari berikutnya, hingga akhirnya saya mendapatkan tiket pesawat  (Lion Air) jalur Surabaya - Palangkaraya.  Benar-benar perjalanan panjang,  Karena setelah dari Palangka saya harus menempuh lagi 5 jam untuk sampai Samuda (Sampit). Sebelum covid 19 banyak penerbangan ke Sampit,  karena tarif tiket terlalu mahal, maka banyak orang yang mengambil jalur alternatif. 

Untuk mempersingkat waktu bus patas yang saya pilih. Prinsip saya "Yang penting segera sampai Surabaya".Hingga antar terlelap dan bangun, perjalanan itu saya nikmati. Ternyata bus melaju dengan kencang tidak seberapa lama sampailah di tempat tujuan yakni Terminal Bungurasih. Sebenarnya saya ingin menikmati tidur pulas tapi apa daya,  harus mengikuti aba-aba dari kondektur turun.  Sakit kaki akibat keseleo terasa sekali,  dalam keadaan berjalan agak pincang, warung makan lah sebagai sasaran karena amat lapar.  

Sumber gambar: dokpri 
Sumber gambar: dokpri 

Singkat cerita dengan menumpang Bus Damri Sampai Bandara Juanda. Lagi-lagi naas baterai handphone sisa 20  persen.Waduh bagaimana harus cek in nanti ,  sementara masih dua jam lagi. Saya telusuri tidak ada tempat pengecekan handphone. Jurus pamungkas harus mematikannya.  

Namun kadang-kadang saya menghidupkan kembali karena sering ada telepon atah keluarga menanyakan sampai di mana.  

Sumber gambar: dokri
Sumber gambar: dokri

Waktu check in tiba, namun baterai semakin melemah.  Alhamdulillah semua proses dapat saya lalui,  giliran bersantai ria menunggu Pesawat tiba, walau masih menahan rasa sakit di kaki. Dari kejauhan terlihat ada tempat charger handphone,  Bergegas saya hampiri tempat tersebut, alhamdulillah kelar.

Demikian cerita tentang pengalaman saya saat arus balik berlangsung. Ada suka dan duka di saat balik sendirian. Namun sesuatu hal yang menjadi pelajaran berharga, bersikap tenang alangkah lebih baik.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun