Pagi itu begitu cerah. Mentari bertengger dengan sejuta senyum, memberikan ruang kebebasan  untuk menjalankan aktivitas. Senyuman dan keceriaan anak anak pun terburai.  Namun ada satu senyuman yang sulit diartikan.Â
Dengan seksama ku perhatikan sosok yang agak berbeda dengan anak seusianya. Sepintas sosok sebagai siswa SMP, namun masih berstatus siswa SD. Â "Siapa dia, " Tanyaku kepada para guru. Maklumlah, aku sebagai orang baru disekolah tersebut. Baru beberapa hari kami ada rolling penempatan tempat tugas.Â
"Namanya Joko,  dia tidak bisa membaca".  Celetuk  salah satu guru.  "Kelas berapa",  tanyaku lagi.  "Kelas 5 Bu, katanya lagi. " Lho..lho...., Kok bisa", sahutku.Â
"Dia kurang bisa ngomong,"  Guru menjelaskan lagi" iya .. nanti coba saya berusaha menanganinya, kataku menyakinkan pada guru tersebut. Dalam hal ini, aku sangat optimis  karena sering berhadapan dengan  anak-anak  yang bermasalah.Â
Beberapa saat terlupakan tentang anak itu. Banyak aktifitas yang aku lakukan, .mengingat saat itu banyak data  yang harus dibuat  baik  manual hingga yang bersifat digital. Untuk menciptakan suasana santai, aku duduk di kursi  ruang  kantor sedangkan operator menempatkan posisi di meja kerja. Untuk mengefektifkan waktu melakukan pembagian tugas hal yang paling tepat.
"Tok .., tok.., tok.., "Â
Suara.ketukan mengejutkan keheningan. Secara reflek pandangan kami tertuju pada seseorang. Dengan sikap yang sopan ia memberi salam dengan bahasa isyarat. Kami menyambut dengan senyuman dan mempersilahkan masuk. Â
Beberapa saat komunikasi berlanjut, ternyata dia menawarkan buku bahasa isyarat.  Masya Allah , ada.orang yang disabilitas, namun mampu menjadi salesman. Dengan lincahnya menjelaskan dengan mimik dan gerakan tangan. Seketika guru-guru  pun nimbrung karena penasaran.Â
Keakraban telah  tercipta, namun ada  beberapa kode isyarat  yang kurang kami mengerti. Dia memahami hal itu, dengan sigap  menuliskan perkataan  dalam bahasa tulis.  Kami terkesima, tulisannya sangat bagus dan rapi. Kemudian dia menatap kami dan  menyodorkan buku.  "ibu berminat? Begitu kira-kira pertanyaan yang ia lontarkan.   Secara reflek  aku mengangguk. Melihat suasana itu, senyuman kecil terlontar dari kawan-kawan guru. Sebenarnya aku ragu,  apakah kamu  mampu mempelajarinya. Namun paling tidak dapat digunakan sebagai referensi.
Pada hari  berikutnya  kami mengadakan rapat guru.  Diskusi tengah berlangsung. Kesulitan pembelajaran di kelas,  itulah yang menjadi topik pembahasan.  Lagi+lagi guru kelas 5 mengeluhkan siswa yang bernama Joko.  "Saya tidak sanggup" kata Bu Rina guru kelas 5. "Ya sudah,  bawa ke kantor.biar saya yang menangani", jawabku dengan penuh percaya diri.
Pagi itu  Joko ke ruangan ku atas rekomendasi guru kelasnya. "Ayo duduklah"  Aku memulai pembicaraan. "Hhh" jawabnya kurang begitu jelas.  "Kamu bawa buku?  Betapa kagetnya, dia menjawab kata  hanya dengan suara  vokal.  Aku berpikir keras, bagaimana aku harus memulai. Aku masih ingat akan buku yang ku beli beberapa.waktu lalu. Apakah bisa dipelajari dalam waktu singkat? Keraguan mulai muncul karena baru kali ini berhadapan dengan kondisi seperti ini.
Sebagai solusi, aku mencari tahu, adakah sekolah luar biasa (SLB) menyiapkan fasilitas gratis untuk orang yang tidak mampu. Â Ternyata tidak ada jawaban yang membahagiakan. Sementara di tempat kami tidak ada sekolah yang menyediakan anak-anak berkebutuhan khusus.Â
Joko sudah 5 tahun  duduk di bangku  SD. Para guru selalu menaikkan setiap tahun dengan alasan, karena sering mengganggu teman yang lain.Â
Keprihatinan bertambah,  otakku berpikir keras bagaimana memecahkan masalah tersebut. Selang beberapa saat akhir tahun pelajaran mulai menyebut yang ditandai dengan kegiatan penilaian akhir semester.  Kami melakukan rapat dan hasil rapat guru, Joko  tidak dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi, dengan harapan dapat menemukan solusi yang terbaik.Â
 Â
Hari pertama masuk sekolah telah tiba. Orang tua Joko  berpamitan, Beliau mengucapkan terimakasih telah menerima Joko  menjadi siswa di sekolah tersebut selama 5 tahun. Tujuan orang tuanya adalah agar Joko bisa bersosialisasi dengan kawan-kawannya. Dia tahu akan arti bergaul dengan sesama. Orang tua Joko menyadari jika sekolah ini tidak bisa mendidik anak -anak seperti Joko karena bukan ranahnya.Â
Dengan berat hati kami melepas..., jika kami tahan, bisakah kami menanganinya dengan baik. Apakah akan menambah penderitaan yang panjang? Â Namun otakku tetap berputar bagaimana nasib Joko selanjutnya. Â Aku sendiri tidak berpengalaman dalam menangani anak berkebutuhan khusus.Â
Kalo aku bisa berandai, semestinya sejak awal tidak di masukkan ke sekolah umum. Terhadap masyarakat tidak mampu seharusnya dari pihak pemerintah ada perhatian. Pendataan terhadap anak-anak yang mengalami masalah harus dilakukan dan harus ada solusi.  Kerjasama dari pihak sekolah sebagai sumber informasi, pihak pemerintah desa sebagai perpanjangan dari pemerintah daerah harus berperan aktif,  mau dikemanakan anak-anak disabilitas tersebut agar mendapat hak yang sama dengan anak anak normal. Kurangnya sarana dan prasarana, guru yang ada di daerah menjadi kendala utama, sehingga wajib dipenuhi agar anak-anak disabilitas bisa tertampung. Sebagaimana  amanat UUD 1945  ayat 1 yang berbunyi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H