Mohon tunggu...
Bee Bakhtiar
Bee Bakhtiar Mohon Tunggu... -

pencinta binatang, seni dan buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepingan Hati Tuo

16 Desember 2013   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mengapa ia harus pergi? Kalian bertengkar? Atau ia sudah tidak sudi lagi tinggal di pondok buruk ini? “

“Bukan, bukan begitu, Pak.”

“Lalu kenapa? Apa ia jijik melihat aku yang tua ini?” 

“Bapak!”

“Lantas? Atau ia punya perempuan lain?” putrinya bangkit, tidak sepatahpun yang ia ucapkan.
Ia tak pernah lagi bertanya, mungkin putrinya tak ingin bercerita,  tak ingin hati tuanya lebih terluka. “Mungkin sebaiknya kau mendatangi  rumah mertuamu. Mintalah maaf pada suamimu. Barangkali ada kesalahan yang tidak kau sengaja,” ujarnya suatu hari.
“Tidak, Pak. Biarlah begini dulu….”
“Tapi, bagaimana dengan anakmu?”
“Upi masih sanggup membiayainya, Pak.”
Tapi, kenyataannya gaji putrinya habis untuk ongkos  mengajar, membeli susu, tetek bengek perempuan dan makan satu minggu. Sisanya, tangan tuanyalah yang harus mengekas. 
“Pak, malam ini, Upi menginap di rumah Amak,” pamit putrinya sore itu. Lama ia menatap putrinya, berusaha menebak hati dan perasaannya. Mencoba mencerna makna ucapannya. 
“Suamimu pulang?” “Iya, Pak.”
Ia memandang putrinya lama, ada sesuatu yang terasa menusuk di dadanya. “Kenapa bukan dia yang datang?”.  Diam. “Yah, pondok ini memang terlalu buruk, dan pasti jijik dengan aku yang tua ini,”
“Tidak, Bapak jangan berpikir seperti itu.”
“Pergilah, suamimu pasti rindu pada anak kalian.” Ada ruang hampa yang makin melebar di dadanya. Dan makin melebar setiap kali putrinya pamit setiap akhir pekan untuk menginap di rumah mertuanya. Akhirnya ruang hampa itu tak lagi memberi tempat pada rasa hangat di hatinya ketika putrinya pamit untuk tinggal selamanya bersama mertuanya.
“Pak, mulai hari ini, Upi tinggal bersama di rumah Amak.”
“Meninggalkan Bapak sendiri?”
“Upi janji, Upi akan pulang seminggu sekali, Pak.”
Sejenak ia menatap putrinya. Ruang hampa itu mengorak, memberi tempat selebar-lebarnya pada amarah. Tapi, seluruh perasaan sayang yang bersarang di setiap inci tubuhnya tak bersedia mengeluarkan amarah itu. “Bapak pikir, Bapak pernah mengajarimu tentang ini, tinggal dengan mertua adalah aib bagi perempuan Minang, Nak.”
“Tapi, Pak…”
“Suamimu yang minta begitu?” lama putrinya baru mengangguk. Dan hatinya pecah melihat anggukan putrinya. Ruang hampa melebarkan sayapnya ke seluruh pori-porinya. Menahan rasa dingin dalam hatinya, ia memutuskan. “Pergilah, dia suamimu, kau harus patuh padanya. Sampaikan salam maaf Bapak pada suami dan mertuamu.”  Ia tahu, keputusan itu akan memberi rasa sakit yang amat dalam baginya. Putri satu-satunya yang ia harapkan akan merawat dan menemani hari tuanya pergi saat ia sangat membutuhkan. Gunjingan kembali menyeruak di telinga tuanya. Tapi, ia telah terbiasa. Karena itu, membutakan mata dan menulikan telinga terhadap seluruh gunjingan bukan hal sulit baginya. 
Hal tersulit dalam hidupnya sejak kepergian putrinya adalah melawan kesepian yang kian menggigit. Rasa yang selalu menyambanginya kala malam tiba. Jika siang ia bisa menyibukkan diri dengan kebun atau kolam. Tapi saat malam, jika sebelumnya ia bercengkrama dengan cucunya, sekarang ia sendiri. Satu-satunya yang menemaninya melewati kesunyian itu hanyalah Al-quran. Lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta membuatnya sedikit melupakan kehampaan yang telah menguasai seluruh hati dan tubunya.
Dua tahun berlalu dan putrinya tak pernah datang lagi. Silaturrahmi saat lebaran pun tidak. Yang ia dengar, dari gunjingan tetangga, mertua dan suami putrinya, melarang sang anak menemui dirinya. Ia  tak pernah tahu kenapa, padahal jarak mereka hanya dua desa. Satu jam berjalan kaki, mereka akan bersua. 
Pernah berniat untuk menyambangi putrinya di rumah sang mertua. Namun, ia takut jika kedatangannya akan membuat putrinya ditinggalkan suaminya. Ia tahu, putrinya sangat mencintai lelaki itu. Ia pernah merasakan sakitnya kehilangan orang yang paling dicintai dan ia tak ingin putrinya merasakan sakit yang sama. Jadi, ia tahan kerinduan terhadap cucunya. Ia tahan keinginan untuk menggendong bocah itu di pundaknya dan membawanya ke ladang. Ia biarkan angannya mereka-reka wajah bocah itu. Adakah mirip dirinya, putrinya, ayahnya ataukah mirip mendiang istrinya? 
Ia biarkan segala kerinduannya menggelepar dan menggunung. Membiarkan pikirannya mereka-reka bahwa keluarga besannya jijik padanya. Membiarkan hati tuanya pecah menjadi berkeping-keping. Berharap dari kepingan-kepingan itu putri dan cucunya beroleh kebahagiaan. Seluruh kesunyian ini menjadi tak berarti manakala ia tahu bahwa putri dan cucunya tak pernah merasakan kesepian yang sama. Ia tahu keinginannya telah terwujud, putrinya bahagia. Tak ada yang lebih penting dari itu. Kini ia hanya perlu mencari kebahagiaannya sendiri dalam kesunyian ini. Dan ia yakin, masih tersisa secuil kebahagiaan untuk hati tuanya. Ia menemukannya di ladang, di  kolam dan di atas sajadahnya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun