Mohon tunggu...
Bee Bakhtiar
Bee Bakhtiar Mohon Tunggu... -

pencinta binatang, seni dan buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepingan Hati Tuo

16 Desember 2013   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEPINGAN HATI TUO

Dengan tongkatnya, lelaki itu berusaha menyingkirkan dedaunan yang menyumbat saluran air ke kolam. Tetapi sesuatu yang lebih besar nangkring di sana. Ia berusaha mengungkit dengan tongkatnya, tapi benda itu bergeming. Ia lalu membungkuk dan menyingkirkan batu sebesar kelapa yang nongkrong di mulut pembuluh. Dengan mengeluh ia meluruskan punggungnya kembali. 

Dalam remang-remang subuh ia berusaha melihat apakah pengapungnya bergerak atau tidak. Tapi mata tuanya sudah tidak bisa membedakan apakah pengapung bergerak oleh gigitan ikan atau angin subuh. Dirapatkan lagi sarungnya, angin subuh terasa sangat menusuk tulang tuanya. Ah, jika tidak ingat perut anak dan cucunya yang perlu di isi, ia lebih senang meringkuk di bawah selimut tuanya ketimbang duduk dalam gelap dan dingin. Menanti seekor ikan ditemani nyamuk-nyamuk.

Teringat anak dan cucunya, tak sadar ia jadi menyumpahi lelaki yang harus ia sebut menantu. Lelaki muda itu pergi tanpa pamit meninggalkan anak dan istrinya, tengah malam. Tanpa pesan apalagi nafkah penyambung hidup. Dalam keremangan subuh ia mempertanyakan kembali, kenapa dulu merestui pernikahan mereka? Anak itu, ah…..

”Upi masih ingin sekolah, Pak,” jawab anaknya ketika ia bertanya kenapa harus menolak duda kaya tetangga mereka. Ia yang sangat memerhatikan dan menghormati dirinya yang telah tua. Sebagai orang tua, ia telah menyiapkan uang jika putrinya setuju untuk menikah. Dan uang yang ia tabung bertahun-tahun itu dialihkan untuk pendaftaran ke perguruan tinggi. Empat tahun lamanya ia pontang panting mencari biaya kuliah. Selama itu pula ia harus menulikan telinga dan membutakan mata terhadap gunjingan dan  cemoohan sanak famili. Apalagi, mamak anaknya (kakak mendiang istrinya) marah-marah karena batal bermenantukan orang kaya.

“Kau pikir, kuliah itu cukup dengan modal sepetak sawah dan seekor kerbau?” pertanyaan yang sesungguhya juga ada di kepalanya. Tapi, “Aku hanya ingin ia lebih maju dariku, Malin.”

Selama empat tahun segalanya terjual. Hanya sepetak kecil tanah dan sebuah pondok kecil di sudut kampung yang tersisa. Separuh dari tanah itu ia jadikan kolam dan sisanya ditanami cabai. Sangat besar harapannya pengorbanan ini setidaknya ia bisa menjamin masa depan putrinya. 
“Belum Pak, saat ini Upi belum berniat menikah. Izinkan Upi membahagiakan Bapak dulu,” lagi-lagi penolakan ketika ia meminta putrinya untuk segera menikah. “Ingat usiamu, Pi,” hanya itu yang bisa ia keluarkan sebagai bentuk kekecewaannya.

Namun, seluruh kekecewaan itu  terobati ketika gadis kecilnya menjelma menjadi seorang guru yang disegani di kampung mereka. Sekarang, ia bisa menjawab semua cemoohan yang dulu ditudingkan ke wajahnya. Tidak sia-sia ia mengorbankan seluruh tanah mereka. Kini ia tahu, ia telah menjadi seorang ayah yang luar biasa bagi putrinya.

Tetapi, ini belum menjadi akhir yang membahagiakan. Cemoohan itu ternyata jauh lebih tajam dan jauh lebih melukai ketika putrinya membawa seorang lelaki muda berambut gondrong merah, bercelana robek-robek dan anting yang nyaris memutuskan daun telinga. Lelaki yang ia perkenalkan sebagai calon pendamping hidupnya. Kekecewaan membentuk koloni besar dalam dirinya. Kenapa mesti lelaki seperti yang dipilih putrinya sebagai imam dan pelindungnya?

“Upi mencintainya, Pak,” itu harga mati. Ia ingin putrinya bahagia, mungkin hanya lelaki ini yang bisa membahagiakannya. Dulu, ia menikahi istrinya juga dengan cinta dan ia tahu cinta telah memberikan banyak kebahagiaan pada dirinya juga istri dan putrinya.  Walau ditentang habis-habisan oleh mamak putrinya dan seluruh keluarga, ia memberikan restu. 
Pernikahan itu berjalan wajar walaupun tak dihadiri oleh seorangpun keluarga mereka. Lelaki muda itu pun tak keberatan tinggal di pondok kecil mereka. Dua hari setelah menikah, ia pergi. Bekerja sebagai supir truk- entah ke mana dan pulang sekali dalam sebulan. Tidak ada pertentangan ataupun pertengkaran. Hidup mereka mengalir seperti sungai, cemoohan pun mereda.

Tapi, suatu pagi ia mendapati putrinya menangis sembari memeluk anaknya yang baru berusia lima bulan. Pertanyaan ada apanya hanya dijawab dengan gelengan. Pertanyaan yang akhirnya terjawab sendiri, karena lelaki muda itu tak pernah muncul lagi. Setiap hari ia mencecar putrinya dengan pertanyaan kemana suaminya, apa yang terjadi. Semuanya hanya dijawab dengan gelengan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun