Langit mendung menggantung rendah. Awan-awan berarak menumpuk, menggiring nuansa kelabu hingga cakrawala. Tak lama, tetes demi tetes air mulai terjun dari langit, menciptakan kilauan sedari riak-riak kecil di atas permukaan air Sungai Barito. Sungai ini berhulu di Pegunungan Muller di provinsi Kalimantan Tengah, lalu bermuara di Laut jawa, tepatnya di provinsi Kalimantan Selatan. Di tepi Sungai Barito, terdapat hutan bakau menjulang megah. Akar-akar raksasa itu menjulang ke atas dan menjulur di dalam air. Begitu banyak makhluk yang sangat bergantung pada hutan ini. Perairan payau tersebut menjadi tempat yang cocok bagi para ikan, udang, dan kepiting bakau. Sungai ini dinobatkan sebagai sungai terpanjang di provinsi Kalimantan Selatan.
Sungai Barito yang bermuara di selatan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai tempat untuk melakukan kegiatan jual-beli. Namanya Pasar Apung. Puluhan sampan mengapung di atas sungai, berbagai jenis barang tertata rapi. Namun pada hari itu, para pedagang di pasar apung mulai sibuk melindungi dagangan mereka dengan terpal agar tidak basah. Beberapa orang tampak tergesa-gesa berusaha menghindari hujan yang semakin mengguyur. Ada pula yang semangatnya tak kunjung surut, sahut-menyahut dalam tawar-menawar meskipun cuaca tak bersahabat.
Di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar, saya berkelana ke sisi lain. Jaraknya tidak begitu jauh dari pasar apung dan masih dekat dengan tepi sungai. Mata saya tertuju pada hutan bakau yang terhampar di seberang. Dari kejauhan, tampak suatu makhluk yang terlihat sangat mencolok berayun dari satu pohon ke pohon lain. Dikatakan mencolok karna warna bulunya sangat cerah dan kontras dengan hijau rimbun dedaunan hutan bakau seperti surya. Yang paling memikat perhatian saya adalah ukuran hidung makhluk itu yang sangat besar. Ayunannya lincah dan tampak sangat berenergi meskipun perutnya tampak buncit. "Uuu.. uuu.. uuu!" salah satu dari mereka tiba-tiba mulai mengeluarkan suara khas yang mirip seperti klakson mobil. Suara itu menggema dan memecah keheningan hutan, kemudian disambut oleh beberapa teriakan lainnya yang berasal dari dalam hutan. Saya tak bisa menahan diri untuk terus mengamati, dalam waktu sebentar langsung dibuat terpesona oleh makhluk tersebut.
Tak peduli seberapa kelam langit hari itu, hati saya begitu riang setelah menyaksikan hewan unik itu meskipun hanya sedari seberang tepi sungai. Orang-orang di pasar masih sibuk berlalu-lalang. Saya pulang bersama ayah setelah ia mendapatkan apa yang dibutuhkan di pasar. Saat itu, saya masih berusia 8 tahun, belum tahu banyak tentang hewan-hewan yang ada di hutan bakau. Penasaran menghampiri, rasa itu kian menggebu-gebu. Langsung saja saya lemparkan pertanyaan pada ayah tentang makhluk yang dilihat tadi.
"Hidungnya besar, bulunya kuning kecoklatan cerah, lalu ia mengeluarkan suara "Uuu.. uuu!" seperti klakson mobil," saya menjelaskan sambil memperagakan suara makhluk tersebut, berharap ayah mengenali binatang berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan.
"Oh hewan itu! Orang-orang lokal memanggilnya "Bekantan", ada juga yang menyebutnya dengan "Monyet Belanda" karna bulunya pirang seperti orang bule. Mereka memang hidup di hutan bakau, tetapi spesies ini hanya ada di Kalimantan saja," jelas ayah. Saya mangut-mangut mengerti. "Ternyata namanya bekantan. Menarik sekali!" gumam saya.
Sejak saat itu, rasa suka pada bekantan semakin besar. Ada semangat membara untuk selalu melihat si monyet berhidung besar. Di sekolah ataupun di rumah, tak bosan-bosan saya gali informasi apa saja yang berkaitan dengan bekantan. Setiap kesempatan hadir, saya tak sungkan bertanya kepada guru dan teman-teman, bahkan menjelajahi internet untuk menemukan fakta-fakta menarik. Ternyata, bekantan yang saya lihat pertama kali ialah bekantan jantan karena hanya mereka yang memiliki hidung besar sehingga dapat mengeluarkan suara besar. Sedangkan bekantan betina tidak memiliki hidung yang sama besar seperti bekantan jantan. Semakin keras suara yang dihasilkan, semakin besar pula daya tariknya bagi para bekantan betina. Di sisi lain, suara gelegar mereka mampu memecah kesunyian hutan bakau yang mencekam, seolah-olah meramaikan suasana sepi hutan. Kadang-kadang, suara khas tersebut juga memberikan peringatan pada sekawanan lainnya bahwa ada bahaya yang akan menghampiri.
Hampir setiap hari jika cuaca cerah sepulang sekolah, rasa antusias menuntun saya mengambil langkah besar menuju tepi sungai Barito. Di sana hanya bisa mengintai dari jauh pemandangan sekawanan bekantan berkumpul. Dengan bantuan teropong sederhana yang saya rakit sendiri, dapat disaksikan lebih jelas bekantan-bekantan yang tengah asyik beraktivitas. Rupanya mereka gemar memetik daun-daunan atau buah-buahan dari pohon-pohon tertentu untuk dimakan. Cuaca cerah ikut memancarkan kecerahan yang terlihat di wajah mereka. Sinar matahari hangat tidak mengharuskan mereka mengurung diri di antara pepohonan apabila dingin datang membelenggu. Sebaliknya, mereka bisa bermain dan beraktivitas dengan leluasa di bawah langit biru cerah.
Tak ada rasa jenuh saat mengamati aktivitas para bekantan. Tangan saya lincah menggambar di atas buku sketsa sembari sesekali melepas pandangan pada sekawanan bekantan. Tiga ekor bekantan melompat dari dahan ke dahan, sementara yang lain tampak asyik bermain air. Rupa mencolok serta semangat mereka saya jadikan sebagai goresan seni indah yang layak untuk diabadikan. Rasanya bangga sekali saat mengetahui bahwa bekantan merupakan hewan yang dibanggakan dari Kalimantan. Mereka selalu dijadikan sebagai ikon tertentu seperti maskot dalam Asian Games atau bahkan dijadikan ikon fauna di provinsi Kalimantan Selatan.
Sekawanan bekantan yang saya amati kali ini tampak berbeda dari kelompok yang saya lihat tempo hari. Hanya ada satu bekantan berhidung besar yang terlihat. Namanya one-male group karna hanya satu bekantan jantan yang memimpin kelompok ini. Suaranya yang paling nyaring karna hidung yang dimilikinya. Bahkan, hanya satu bekantan yang berbadan besar. Sisanya adalah para bekantan betina serta bekantan yang masih belia. Hal menarik yang saya perhatikan yaitu bayi mungil bekantan berbulu lebih gelap dibandingkan bekantan dewasa. Mereka menikmati kehangatan dalam pangkuan sang ibu. Tampak mulutnya komat-kamit sembari mengunyah buah-buahan.
"Kelompok sosial bekantan terbagi menjadi dua jenis yaitu one-male group dan all-male group. Sesuai sebutannya, ada kelompok bekantan yang seluruh anggotanya jantan. Mereka berkumpul dalam all-male group apabila umur mereka sudah cukup dewasa dan tidak perlu berada dalam dekapan ibunya lagi. Berbeda dengan one-male group yang hanya ada satu bekantan jantan sebagai pemimpin dalam rombongan anggotanya. Anggota di dalam masing-masing kelompok biasanya ada sekitar belasan hingga tiga puluh bekantan," jelas guru kami saat waktu belajar sedang berlangsung. Kini, saya mulai memahami jenis kelompok bekantan yang tengah diamati di seberang sana.
Saat langit mulai berwarna jingga keemasan, sang surya perlahan-perlahan tenggelam di balik cakrawala. Para bekantan mulai beranjak menuju pohon bakau dekat tepian sungai. Jumlahnya terlihat lebih banyak dari sebelumnya, saling berdiri di antara dahan-dahan pohon. Ada juga yang melompat-lompat riang. Dalam sekejap mata, hutan bakau itu berubah bak pasar malam yang riuh dengan teriakan-teriakan. Namun, suasana riuh itu hanya berlangsung sejenak. Ketenangan kembali menyelimuti saat warna oranye di langit semakin memudar. Surya rimba itu mulai menyembunyikan diri di balik pohon untuk beristirahat. Mereka akan kembali beraktivitas di hari esok. Saya pun memutuskan kembali ke rumah dan mencatat hal-hal baru yang diperoleh setiap kali menyaksikan perilaku bekantan di hutan bakau.
Saat saya melangkah pulang, sontak terlintas bayangan saat menyaksikan beberapa ekor bekantan betina yang lihai berenang di sungai untuk menyebrang ke wilayah lain. Dari sebuah artikel National geographic yang saya telusuri, bekantan memiliki selaput kulit kaki yang lebar sehingga mereka sangat mahir saat berenang. Namun, ada beberapa alasan tertentu yang menjadikan mereka berbeda dari monyet lain karna keahlian tersebut.
"Bekantan kemungkinan turun ke air karena sulit untuk hidup di rawa tanpa bisa berenang," kata Lee Harding, kepala ilmuwan di SciWrite Environmental Sciences dan ahli bekantan.
Faktanya yang telah dibuktikan dari suatu penelitian, bekantan bisa berenang sejauh 20 meter. Wow! Saya dibuat terkesima saat mendengarnya. Catat, itu bukan jarak pendek untuk ditempuh saat berenang. Apalagi, sangat jarang spesies monyet mampu berenang. Tetapi, pemandangan ini sudah menjadi hal biasa bagi penduduk lokal yang telah lama hidup berdampingan dengan mereka. Begitulah pikir saya saat berusia 8 tahun.
"Mereka selalu hidup beriringan dalam kelompoknya. Bahkan, masa itu wilayah dekat Sungai Barito sana masih dipenuhi oleh hutan-hutan bakau. Tidak seperti sekarang yang sebagian sudah dialihfungsikan untuk permukiman dan pembangunan-pembangunan lainnya," tanggap ayah tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. Kami berkumpul di ruang keluarga, fokus menonton berita yang tayang. Pembawa acara membawa kabar dari Desa Stagen, Kalimantan Selatan tentang bekantan yang mulai mendekati permukiman karena perubahan habitat.
"Karena memang itu sebenarnya jalur mereka. Karena sudah ada bangunan, permukiman, dan jalanan di situ kadang-kadang dia bisa nyebrang lewati permukiman," terang Nikmat yang merupakan BKSDA Kalimantan Selatan.
Alih fungsi lahan serta deforestasi menjadi masalah serius bagi satwa endemik di Kalimantan. Satwa seperti bekantan tentu sangat bergantung pada hutan bakau. Sumber pakan serta tempat tinggal mereka berada di hutan bakau yang juga menjadi habitat bagi banyak keanekaragaman hayati lainnya. Sayangnya, berita mengenai kebakaran hutan bakau kerap tak jarang terdengar. Biasanya hal tersebut dipicu oleh adanya pembukaan lahan untuk pertanian atau permukiman. Kondisi tersebut mengakibatkan penurunan drastis pada populasi bekantan setiap tahunnya, bahkan ada yang nekat turun ke permukiman warga karna hak mereka yang sudah dirampas.
"Bekantan memakan dedaunan pada pohon berkanopi tinggi. Selain itu, pohon jenis ini juga digunakan untuk bersosialisasi dan tidur kala malam. Kebakaran hutan yang terjadi berdampak besar pada para bekantan. Mereka terpaksa menghabiskan waktunya di daratan. Ini tidak aman bagi mereka karena predator bisa datang menerkam," tegas Hadi Sukadi, seorang peneliti Institut Pertanian Bogor dalam acara bedah buku Bekantan: Perjuangan melawan kepunahan di kompleks kemenristekdikti.
"Tak disangka ya, populasinya semakin berkurang setiap tahun," balas ibu yang juga serius menyaksikan televisi. Sudah sekian tahun sejak terakhir kali saya asyik menghabiskan masa kecil bersama bekantan di tepi sungai. Hari demi hari berlalu. Tahun pun berganti. Usia saya menua, begitupula dengan bumi. Saya duduk menyaksikan televisi yang selalu membawa berita duka tentang populasi satwa bekantan yang semakin mengkhawatirkan. Bekantan telah dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah oleh IUCN dan terdaftar dalam CITES APPENDIX I yang berarti hewan ini dilarang diperdagangkan secara internasional.
Populasinya yang masih berkisar sekitar 260.000 pada tahun 2000 kini merosot drastis hingga tersisa kurang dari 25.000. Deg! Ini berita yang sangat memilukan karena saya sudah sangat mencintai spesies itu sedari kecil. Jika kerakusan manusia dengan terus-menerus menggunduli hutan dan menggantinya dengan permukiman, ditambah lagi angka perburuan liar yang semakin merajalela, siap-siap saja spesies unik itu akan musnah dari bumi ini. Belum lagi menghadapi kenyataan lain berupa iklim yang berubah tak karuan setiap tahunnya. Peristiwa ini tidak berjalan seimbang karena bekantan hanya melahirkan satu bayi dalam satu musim. Butuh waktu yang lama untuk mereka bergenerasi. Apabila ada gangguan alam yang menghambat, bisa jadi sama sekali tidak ada bayi bekantan yang akan terlahir lagi di masa depan!
Saya kalut mengkhawatirkan nasib monyet berhidung besar itu. Alih-alih memikirkan solusi, saya menemukan secercah titik. National Geographic Indonesia, bekerja sama dengan Yayasan Kehati (KEHATI), menggelar seminar perdana Forum Bumi pada Kamis, 8 Agustus 2024, di House of Izara, Jakarta Selatan. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para jurnalis serta aktivis lingkungan dalam isu konservasi. Forum ini bertemakan, Apa yang Terjadi Bila Keanekaragaman Hayati Kita Punah, seminar ini menghadirkan diskusi terkait ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan langkah-langkah penyelamatan yang diperlukan, terutama teruntuk spesies-spesies endemik yang sudah dikategorikan langka seperti bekantan.
Annas Radin Syarif seorang Deputi Sekjen AMAN untuk Ekonomi dan Dukungan Komunitas, berpendapat bahwa sekitar 36 persen tutupan wilayah hutan di dunia itu ada di wilayah adat. "Jadi masyarakat adat, ya, bagian dari konservasi," tegas Annas.
Masyarakat adat termasuk bagian dalam masyarakat lokal, namun tidak semua masyarakat lokal  sudah menjunjung tinggi adat yang sesuai. Peran masyarakat lokal sangat besar dalam upaya konservasi bekantan. Sayangnya, belum semua orang memiliki kesadaran dan empati tinggi terhadap keanekaragaman hayati yang semakin tergerus, meskipun itu hewan endemik di wilayahnya sendiri. Tidak hanya satwa, bahkan mereka mengabaikan betapa gawatnya kondisi lingkungan apabila terus-menerus menggunduli hutan. Siapa yang mungkin akan peduli apabila puspa dan satwa yang semakin hari semakin terancam?
Beberapa dari mereka masih acuh tak acuh terhadap keberadaan satwa ini. Bisa jadi, orang memandang satwa ini sama seperti semua monyet yang hidup di hutan bakau, tanpa menyadari keunikan fisik dan peran pentingnya. Padahal, bekantan telah berjasa besar dalam menjadikan lingkungan hidup lebih asri. Mereka berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem di habitatnya dengan menyebarkan biji-bijian dari buah yang mereka makan. Mereka juga yang mengontrol populasi tanaman serta serangga di hutan.
Hewan endemik ini sudah sepatutnya dilestarikan. Pemerintah mulai mengambil langkah nyata dalam berbagai program penyelamatan bekantan. Bahkan kini ada komunitas Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) yang hadir untuk mendukung upaya konservasi terhadap bekantan di alam liar. Berbagai macam bentuk upaya pelestarian dikerahkan untuk menggenjot kembali angka populasi bekantan di habitat aslinya.
"Menyelamatkan bekantan tidak mungkin tanpa menyelamatkan habitatnya. Untuk itulah, kami tim SBI berusaha sekuat tenaga berupaya memenuhi daya dukung bagi habitat bekantan," kata Amalia Rezeki, pendiri SBI yang juga dosen Pendidikan Biologi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Selain itu, bentuk upaya konservasi yang dilangsungkan demi melestarikan jumlah populasi bekantan yaitu menempatkan mereka di tempat-tempat seperti Suaka Margasatwa, Cagar Alam, dan Taman Nasional. Di dekat muara Sungai Barito, ada namanya "Pulau Kaget". Pulau itu terletak di wilayah Desa Tabunganen Muara, Kecamatan Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Sekarang berubah fungsi dari yang awalnya Cagar Alam menjadi Suaka Margasatwa dan dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Â Tempat inilah yang menjadi habitat beragam satwa liar, termasuk bekantan.
Kini saya berdiri di tepi Sungai Barito. Langit tampak mendung. Suasana yang tidak berbeda jauh saat pertama kali saya menemukan makhluk itu di seberang sungai. Dua puluh tahun telah terlewati. Saya melayangkan pandangan jauh ke depan. Hanya dua bekantan yang sedang menyebrangi sungai dengan tergesa-gesa. Bahkan, tak tampak lagi para bekantan yang bergelantungan di antara dahan pohon. Mungkin, pohon-pohon bakau di sekeliling sungai ini menjadi saksi bisu mengenai cerita kehidupan yang pernah diukir oleh sekawanan monyet berhidung besar. Semoga, saat usia saya semakin menua, teriakan khas klakson mobil di hutan ini tetap saling sahut-menyahut. Bukan mobil sungguhan pelakunya, namun makhluk yang menyerupai surya kehidupan. Bulu itu berhasil menerangi suasana rimba yang murung. Semoga anak cucu di generasi mendatang masih bisa melihat makhluk menawan yang dipanggil bekantan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H