Apakah engkau percaya dengan takdir? Kuasa Tuhan yang tidak dapat ditolak oleh seluruh mahluk-Nya? Begitupun dengan aku. Aku tidak menyangka semua ini terjadi kepadaku, saat aku yakini itu semua adalah sebuah petaka untukku ternyata pada waktu yang bersamaan Tuhan mengirimkanmu kepadaku. Engkau hadir dengan segala kesempurnaan yang kau miliki. Awalnya aku merasa kehadiranmu hanya kado kecil dari Tuhan agar aku tak merasa jenuh dengan semua rutinitas yang aku lalui hampir setengah tahun. Sungguh melelahkan.
Bukankah Tuhan telah memberi kabar, bila ada kesedihan disana juga terdapat kebahagiaan. Yah, engkaulah kebahagiaanku saat itu dan mungkin sampai detik ini.
"Selamat pagi, Nona."Sapamu.
"Selamat pagi juga."Balasku.
"Bagaimana kabar Nona pagi ini?"
"Seperti yang kamu lihat." Sapaanmu saban pagi inilah yang membuat tataan hatiku berubah keseluruhan.
Apakah engkau percaya dengan takdir Tuhan? Dia telah mempertemukan aku dan engkau, membuat benih-benih rasa tumbuh diantara rongga dadaku, lantas menghujam hatiku dengan sebuah perpisahan.
"Hendak kemana Nona?"tanyamu saat aku berbenah.
"Aku harus pulang."
"Tak maukah Nona disini beberapa hari lagi? Menemaniku."
Aku menggeleng –rasa itu masih tumbuh kecambahnya, aku yakin esok lusa bakal layu dan mati.
''Ayolah, Nona. Aku tidak yakin kita dapat berjumpa lagi. Biar aku lukis semua ini sebentar saja, menambah daftar kegiatanku bersamamu."
Yah. Kau memaksaku untuk tetap tinggal waktu itu, tapi aku menolak karena aku pikir semua akan kembali seperti semula saat kita tidak lagi bertatap mata. Sayangnya aku keliru, dihari Rabu dua tahun lalu Tuhan mempertemukan aku dan engkau lagi untuk terakhir kalinya sebagai salam perpisahan.
"Ini hari terakhirku, Nona. Semoga Nona bahagia selalu."
"Semoga engkau juga bahagia selalu."
Sejak saat itu, dugaan-dugaanku salah. Rasa itu semakin lebat daunnya, semakin subur tumbuhnya, dan sayangnya aku tidak mampu menghentikannya. sehari berusaha tidak memikirkanmu maka seminggu aku berkutat dengan bayanganmu. Satu minggu aku mencoba tidak mencari kabarmu maka satu bulan aku seperti orang gila –merapalkan namamu tanpa henti. Itu aku lakukan sampai dengan hari ini, dua tahun setelah engkau menghilang bak di telan bumi. Engkau raib begitu saja. Semua tentangmu gelap. Semakin aku mencarimu, jalan yang aku tempuh buntu.
Aku tulis surat ini untuku –dimanapun engkau berada- agar engkau mengerti perasaan yang tertinggal. Aku merindukanmu.
Nona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H