Mohon tunggu...
Aina Mardiyah Caniago
Aina Mardiyah Caniago Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Mahasiswa

Dengan minat yang besar dalam teknologi, saya senang menghabiskan waktu untuk mempelajari perkembangan terbaru di dunia teknologi. Menjelajahi gadget baru dan mengembangkan proyek-proyek inovatif adalah hobi yang sangat memuaskan bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stigmatisasi Masyarakat Mayoritas terhadap Minoritas

16 Juli 2024   12:24 Diperbarui: 16 Juli 2024   16:05 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keberagaman. Sumber Gambar: canva.com/ziehefzie

"Pentingnya memahami perbedaan dalam agama adalah untuk menciptakan perdamaian, bukan konflik." —Abdurrahman Wahid a.k.a. Gusdur

Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam. Keberagaman tersebut meliputi SARA (suku, ras, dan agama). Keberagaman menjadi salah satu aspek yang cukup penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Agama dianggap penting karena selalu dijadikan rujukan dan dikaitkan dengan berbagai masalah di setiap aspek kehidupan masyarakat.  Sejatinya, keberagaman ini seharusnya memperkuat persatuan bangsa. 

Bayangkan betapa indahnya jika berbagai suku, ras, dan agama di Indonesia bisa hidup berdampingan dengan harmonis, saling menghormati dan belajar satu sama lain. Sayangnya, kenyataan yang kita hadapi sering kali berbeda. Keberagaman yang ada justru sering kali menimbulkan stigmatisasi terhadap kelompok minoritas.   

Stigmatisasi terhadap minoritas muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari stereotip negatif, prasangka, hingga diskriminasi langsung. Stigmatisasi adalah tindakan memberikan label negatif kepada seseorang atau kelompok berdasarkan prasangka, yang sering kali berasal dari ketidaktahuan atau informasi yang salah. Sementara diskriminasi adalah perlakuan tidak adil terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan karakteristik tertentu seperti, agama, etnik, dan suku. 

Penggolongan mayoritas dan minoritas sering dikaitkan dengan agama dan etnik, Agama adalah keyakinan pribadi yang dipegang setiap individu, sedangkan etnik adalah identitas yang mendarah daging, mencakup budaya, bahasa, dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Penggolongan ini dapat menimbulkan stigma negatif, diskriminasi, dan perlakuan tidak adil yang berdampak buruk pada kehidupan sosial, ekonomi, dan psikologis minoritas. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata mayoritas adalah jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu.  Sedangkan kata minoritas adalah golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat. 

Diskriminasi berkaitan dengan prasangka. Prasangka ini yang menciptakan pemisahan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Prasangka sosial merujuk pada sikap atau perasaan seseorang terhadap kelompok tertentu berdasarkan ras atau budaya yang berbeda dengan kelompok orang yang memiliki prasangka tersebut. Pada awalnya, prasangka ini berupa pikiran atau perasaan negatif yang kemudian bisa mengarah kepada tindakan diskriminatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka, tanpa didasari alasan-alasan yang objektif. 

Kelompok minoritas sering merasa kurang mendapat perlindungan dan pengakuan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di lingkungan pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan publik. Anak-anak dari kelompok minoritas mungkin menghadapi bullying atau perlakuan tidak adil di sekolah, yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan kesejahteraan psikologis mereka. 

Di tempat kerja, individu dari kelompok minoritas sering kali menghadapi hambatan dalam mendapatkan pekerjaan yang setara atau promosi, yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang signifikan. Dimasyarakat, penganut agama minoritas mungkin menghadapi kesulitan dalam mendapatkan izin untuk mendirikan tempat ibadah atau menghadapi prasangka negatif di sekitar lingkungan. Setiap pemeluk agama memiliki hak untuk melaksanakan ibadah dengan aman. 

Salah satu contoh konkret adalah kesulitan yang dialami oleh pemeluk agama tertentu dalam mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah. Meskipun mereka telah memenuhi semua persyaratan administratif, sering kali mereka masih menghadapi penolakan dari masyarakat sekitar yang mayoritas beragama lain. Hal ini mencerminkan ketidakadilan struktural yang diperkuat oleh prasangka sosial.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun