"Gimana keadaanmu, Tan?"Â
Demikian tanyaku tanpa bertele-tele pada seorang kawan lama yang tinggal di pulau seberang. Kami tak pernah bertemu 17 tahun dan baru setahun terakhir menyambung silaturahmi lewat dunia maya.
"Alhamdulillah, kami sudah membaik," jawabnya. Tak sampai seminggu yang lalu tiba-tiba ia mengirimkan pesan WA mengabarkan kalau dia dan ibunya yang serumah positif PCR, hingga anak-anaknya mengungsi ke luar kota di tempat bapaknya berdinas.
Minggu kemarin seperti sedang berkecamuk perang saja. Satu per satu orang yang kukenal dekat tumbang oleh peluru nyasar Covid-19, yang konon dipicu oleh berkembangnya varian baru.
"Mba Febri positif lagi!" cerita seorang teman dua minggu yang lalu.
"Lho, lagi?" tanyaku memastikan. Aku pun langsung menyebutkan namanya dalam grup.
"Kamu hebat, Febri, keep fight ya!"Â
Dia pun menjawab dengan semringah. Dukungan sereceh pujian cukup berarti.
"Aku sudah lulus!"Â
Ifa, seorang kawan, Â mengirimkan foto sertifikat tanda telah selesai menjalani isolasi di sebuah RS lapangan di kota tempatnya berdinas. Ia memilih tinggal selama 10 hari di RS darurat tersebut, meski kondisinya cukup baik, demi menghindarkan teman-teman kosnya tertular.Â
Ifa mempostingnya di grup kami yang beranggotakan rekan-rekan sejawat yang punya kesamaan minat dalam menulis. Kami sedang mengerjakan proyek penulisan memoar dalam bentuk antologi.
Awalnya saya membuka percakapan di grup yang berhari-hari sepi, dengan doa agar kawan-kawan yang sedang berjuang melawan sakit segera diangkat penyakitnya, dan yang masih sehat terus terjaga kesehatannya.
"Btw, renang itu aman ga sih? Katanya kaporit auto membunuh kuman dan bakteri di kolam....kalau virus, mempan ga?" tanya seseorang ketika grup mendiskusikan olah raga apa yang dipilih masing-masing orang terutama saat pandemi.
"Ngga bisa kali, virusnya ganas! Mana kolam penuh sama cairan tubuh manusia kan? Mending renang di kasur sendiri deh!" jawab seseorang sambil becanda.
"Lha aku ngga renang, ya kena...." tulis Heni, seorang kawan lain menimpali.Â
Sontak membuat kami kaget dan langsung menyerbu yang bersangkutan dengan pertanyaan. Terlebih dia partner saya dalam mengkurasi naskah para kontributor, dan bertugas menyeleksi penerbit yang akan terpilih untuk mencetak buku kami.
Hari ini saya kembali menanyakan kabar padanya, setelah sebelumnya ia memutuskan isoman di rumahnya sendiri, pasca hasil PCR positif. Untuk itu anak dan suaminya pun terpaksa mengungsi ke rumah orang tua.
"Aku udah masuk RS lapangan, Mbak, kemarin."
"Lho, udah dapet?" tanyaku. Teringat sehari setelah Heni mengabarkan dirinya positif, ia menjawab pertanyaanku,
"Ngga usah kirim apa-apa sama aku. Sekarang aku ngga doyan apa-apa..."
"Lha wong aku mau kirim naskah untuk dikoreksi, jeh," sahutku melucu.
Waktu itu ia menjelaskan bahwa antrian untuk isolasi di RS darurat tersebut luar biasa. Meski si Ifa, sudah lulus dari sana. Jatah kasur bekas Ifa rupanya segera beralih ke pasien lain
Sementara itu, kemarin, seseorang menanyakan kabar kontributor antologi yang lain kepada saya, padahal saya yang sekantor dengannya belum mendengar berita.
"Si Izah beneran positif?"Â
Saya kaget melihat tangkapan layar yang ia kirimkan. Status facebook Izah beberapa saat sebelumnya, yang menyatakan dirinya mendapat giliran dikunjungi si kopid.
Segera saya menelepon dan mengirimkan WA. Menunggu beberapa lama sampai ia menjawab.
"Iya nih, suamiku positif. Aku sudah ada gejala. Sementara ini aku WFH sambung cuti. Anak-anak sudah kutitipkan ke tantenya..."
Sepotong doa pun kembali terlantunkan.
Beberapa minggu yang lalu, kawan yang pernah satu seksi, yang menjadi travelmate pertama ketika backpackeran ke LN, juga dikabarkan positif.
"Terus gimana anak-anak?" tanyaku ketika itu mengingat ia seorang ibu dengan balita usia 3 tahun dan bayi usia 4 bulan.
"Sementara aku isoman di lantai dua rumah. Anak-anak sama Eyang dan Bapaknya di bawah. Asisten rumah tanggaku juga kena..."
Beberapa hari kemudian ia mengabarkan, si bayi juga positif, sementara si kakak dan ayahnya masih menunggu hasil. Astagfirullaah...
Mengetahui orang yang kita kenal apalagi yang dekat dengan kita menjadi korban, rasanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kalaupun bukan makanan, suplemen, obat, atau barang lain yang bisa sedikit saja, menerbitkan bahagia, setidaknya keremehan berkirim pesan, menanyakan kabar, melantunkan doa, mestinya tidak sereceh itu. Pastilah cukup berarti.
"Kita kan tidak pernah tahu, doa siapa yang diijabah Allah..." Ucapan seorang sahabat bertahun-tahun lalu ini selalu saya ingat, meyakinkan saya sekecil-kecilnya yang bisa kita berikan adalah doa yang tidak kecil nilainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H