Setiap umat pasti terbiasa dengan donasi, sumbangan, sedekah. Membagikan sedikit yang kita miliki kepada orang yang membutuhkan menimbulkan perasaan yang tidak terukur.Â
Berbagi tidak melulu dengan uang atau barang baru, tidak harus menjadi berpunya untuk sanggup berdonasi. Seringkali donasi barang bekas lebih ringan untuk dilakukan.
Di antara banyaknya ragam barang bekas, buku adalah salah satunya. Setiap rumah terlebih yang memiliki anak sekolah pasti punya buku, mungkin setelah terbaca atau setelah berakhirnya waktu penggunaan, hanya menumpuk memenuhi sudut rumah.Â
Pilihan mudah dibuang ke tempat sampah, menunggu tukang sampah yang rutin datang mebersihkannya. Atau menjualnya pada pemulung dan tukang loak?
Bagi sebagian dari kita, rupiah yang didapat dari menjual buku bekas tidak seberapa nilainya. Pilihan terakhir adalah membiarkannya hingga tak ada lagi tempat penyimpanan tersisa. Mengundang debu dan tungau.
Menyedekahkan buku bekas juga tidak mudah . Harus tahu dulu siapa yang membutuhkan. Bacaan jenis apa yang mau mereka terima. Apalagi tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Buku masih dianggap barang tidak penting, tidak mendesak untuk dimiliki.Â
Setiap berakhirnya tahun pelajaran sekolah, buku yang tidak terpakai bertambah. Seorang teman menghubungi saya suatu hari, menanyakan kemana sebaiknya buku-buku ketiga orang anaknya didonasikan.Â
Rupanya dia mengingat  saya pernah menggagas program donasi buku ini. Teman ini tahu pula, sebagai penggemar membaca, buku-buku yang saya miliki tiap tahunnya tentu terus bertambah, membutuhkan ruang untuk menyimpannya.
Dengan semangat mendukung tumbuhnya minat membaca sekaligus menyelamatkan buku bekas dari tempat loak, sekalipun di tengah pandemi saat kebutuhan makan lebih mendesak untuk dipenuhi, saya menyanggupi pada diri sendiri untuk menginisiasi kegiatan ini.Â
Diawali dengan menyebarkan pesan di grup-grup WA maupun media sosial yang saya ikuti, mencari informasi lembaga mana yang membutuhkan pasokan buku bekas.
Meski membutuhkan waktu dan usaha ekstra, informasi yang saya dapatkan cukup banyak. Â Ada perpustakaan desa, panti asuhan, rumah belajar yang masih dalam tahap pembangunan dan taman bacaan yang lokasinya di pelosok.
 Mulailah saya menghubungi satu per satu pengelola lembaga tersebut. Menanyakan jenis bacaan yang dibutuhkan, bagaimana karakter pembacanya, sampai dengan teknis penyerahan buku-buku ini nantinya.Â
Yang terakhir ini penting, karena saya menangani donasi ini sendiri, hanya dibantu asisten rumah tangga dan kedua anak saya yang tengah menjalani School From Home.
"Kami siap menjemput ke rumah Mbak, kabari saja kalau sudah terkumpul," jawab seorang pengurus perpustakaan desa.
Saya sendiri nyaris tiap hari harus masuk kerja, menempuh perjalanan 5 jam pulang pergi keluar kota. Dengan kondisi seperti ini, tentunya waktu dan tenaga lebih terbatas. Sehingga tiap lembaga saya tanyakan kesediaannya untuk mengambil sendiri buku-buku di rumah saya.Â
Informasi kembali disebarkan melalui grup-grup WA dan akun media sosial mengenai dibukanya Program Donasi Buku Bekas. Seperti yang sudah diduga, antusiasme dari teman-teman begitu tinggi.Â
"Waaah, kebetulan banget Mbak bikin kegiatan ini, aku sudah bingung nau dikemain buku sebanyak ini," ucap seorang teman yang senangnya seolah-olah menang doorprizeÂ
Bahkan yang berada di kota lain pun menyatakan minatnya untuk berpartisipasi, karena kebingungan dikemanakan buku-buku bekasnya. Tumpukan buku dan aneka bacaan mulai berdatangan ke rumah. Â
Asisten membantu menyemprot buku-buku yang datang dengan desinfektan. Kemudian kami pisahkan berdasarkan jenisnya dalam dus yang berbeda-beda. Buku pelajaran, majalah anak dan dewasa, buku agama dan kitab suci, buku cerita dan novel, buku pengetahuan popular.
Beberapa bacaan disortir khusus dengan cara membacanya terlebih dahulu satu per satu, untuk mengetahui konten yang terkandung di dalamnya. Tidak ingin keliru menyerahkan bacaan yang tidak tepat.Â
Misal taman bacaan yang pembacanya hanya anak-anak, tidak patut diberikan bacaan dengan konten hanya layak dibaca usia dewasa. Panti Asuhan tentunya lebih relevan dengan buku-buku yang diperuntukkan usia anak dan remaja.Â
Perpustakaan desa punya lingkup pembaca yang lebih luas. Itulah perlunya identifikasi karakter lembaga yang kita dukung. Bacaan yang telah disortir kembali dibagi-bagi dalam beberapa dus, untuk sejumlah 6 lembaga.
Seorang pengurus taman bacaan berkata,
"Kami juga punya jaringan dengan taman bacaan lain mba, jadi kami saling bertukar buku secara rutin"
Pengurus lembaga lain menuliskan pesan,
"Terima kasih ya mba, kami sangat terbantu dengan ini. Dana yang tadinya direncanakan untuk membeli bacaan bisa kami alihkan ke pemasangan dan pembayaran wifi untuk membantu sekolah daring anak-anak sekitar."
Syarat khusus yang saya minta dari tiap pihak yang menerima donasi ini adalah foto-foto buku di lokasi. Setiap membuat program sejenis saya selalu membuat laporan pertanggungjawaban kepada para donatur.Â
Di tengah keterbatasan karena pandemi ini, laporan tertulis disertai foto-foto dikirimkan melalui pesan whatsapp.
Setelah berjalan 5 minggu, donasi ini saya akhiri untuk sementara. Masih ada donatur yang memaksa saya untuk menerima bukunya yang jumlahnya sangat banyak.Â
Lembaga yang menghubungi saya karena mendapatkan info dari mulut ke mulut, juga bertambah. Meminta bantuan pasokan buku bekas.Â
Sanpai saat ditulisnya tulisan ini, saya masih membantu menyalurkan baik buku baru/bekas, maupun dana untuk mendukung taman bacaan dan sejenisnya.Â
Karena orang baik yang ingin berbagi selalu ada. Termasuk Anda, bukan?
Jadi, jangan bingung harus bagaimana memperlakukan buku bekas yang menumpuk. Setiap orang bisa membuka donasi di wilayah masing-masing.
Siapa tahu, ini jalan memintal amal jariyah kita, ya nggak?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H