Mohon tunggu...
Ainag Al Ghaniyu
Ainag Al Ghaniyu Mohon Tunggu... Buruh - a jannah seeker

Writing for healing

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menjaga Kewarasan Ibu Saat Pandemi

18 Februari 2021   10:00 Diperbarui: 19 Februari 2021   18:02 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : CNN Indonesia

Pandemi Covid-19 membawa dampak yang tidak menyenangkan terhadap banyak dimensi kehidupan. Bukan saja tentang rentannya kesehatan, saat begitu dekatnya maut mengintai siapapun karenanya. Juga memporak-porandakan tatanan yang sudah berlaku di masyakat, di negara manapun saat ini.

Ibu adalah pihak yang bisa dibilang paling merasakan semua ekses negatifnya. Terlebih seorang ibu tunggal, yang tidak memiliki pasangan tempat bergantung dan berbagi segala hal. 

Saat ini ancaman terhadap kestabilan hidup bertambah, mulai dari turun penghasilannya sampai  pemutusan hubungan kerja. Bagaimana menyediakan makan dan kebutuhan rumah tangga lain setelahnya. Larangan untuk ke  tempat-tempat keramaian membuat seorang ibu berpikir ulang kemana harus berbelanja. Atau cemas setiap kali dirinya harus keluar rumah demi mencari nafkah. Bahkan fasilitas-fasilitas kesehatan yang  kewalahan karena padatnya pasien covid membuat ibu menahan diri untuk berobat, baik untuk dirinya maupun keluarga.

Tidak kalah gentingnya dampak yang diakibatkan pada tutupnya sekolah dan diterapkannya proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sungguh berimbas langsung ke pengendalian emosi para ibu. Sampai-sampai viral ungkapan, "Anak Daring, Ibu Darting". Betapa ibu-ibu tidak kenal lagi dengan kata sabar semenjak pandemi, luapan emosi menguasai. Tantangan lebih berat terutama bagi ibu dengan anak usia Paud, TK dan SD. Karena anak-anak usia sekolah menengah ke atas sudah beda kematangan emosinya.

Apa yang bisa dilakukan saat sumber penghasilan terganggu ? Saya pribadi dari dulu berpendapat, perempuan menikah tetap wajib mengasah keterampilannya. Baik keterampilan merawat keluarga, mendidik anak, mengelola rumah tangga dengan segala kebutuhannya, serta manajemen keuangan. Satu lagi, skill untuk berdaya secara ekonomi. Tidak semua perempuan ''terpaksa" bekerja, mencari nafkah. Tidak semua wanita menikah dituntut untuk bekerja di luar rumah. 

Namun kebisaan untuk berdaya guna secara ekonomi rasanya wajib diasah. Kita tidak tahu ujian apa yang akan dihadapi ke depannya, sekalipun tidak ada pandemi. Di masa yang penuh ketidak pastian dan segala aspek kehidupan membutuhkan biaya, rasanya punya skill yang menghasilkan patut diperlihara.

Sering kita baca, ibu-ibu yang tidak mengasah kemampuannya dalam hal ini, rentan dengan gejolak emosi. Mulai dari was-was ditinggal suami, cemas tak mampu mencukupi kebutuhan anaknya, sampai tak berdaya membantu orang tua yang sudah menua. 

Ibu-ibu yang bisa jualan online dari rumah, yang buka pesanan kue, yang punya kemampuan apapun yang menjual, otomatis punya kepercayaan diri lebih. Bukan semata soal berapa besar nominal yang dihasilkan, namun juga tentang eksistensi dirinya.

Demikian juga dengan sekolah daring, yang nyaris tiap hari jadi topik favorit emak-emak seantero negeri. Ibu-ibu yang mungkin sebelum pandemi bisa mencuri waktu demi kegiatan relaksasi dengan cara ke pasar/mal, ikut arisan, pengajian, nonton drakor saat tuntas semua kerjaan rumah, sambil jarinya agresif posting status dan komen di akun medsosnya, pasti terkebiri dengan kondisi ini. Kebebasannya dijajah, ketenangannya diusik. Begitu kira-kira.                         

Paling seru ketika punya anak sekolah usia di bawah 10 tahun. Dua anak saja sudah runyam, apalagi tiga dan seterusnya. Ibu-ibu dulu waktu masih ada suami kepikiran ngga ya kalau begini, idealnya anak diberi jarak kelahiran yang cukup, sehingga masing-masing anak mendapatkan haknya atas kasih sayang orang tua dengan optimal.

"Anak itu rejeki mba, ndak bisa kita atur-atur datangnya"

Allright, itu sudah dijawab sendiri, bahwa anak adalah rejeki, tak bisa kita atur serta merta kehadirannya. Jangan beri kesempatan darting (darah tinggi/emosi tak terkontrol) menguasai. Pasrah pada ketetapan Allah. Seperti Covid-19, datang dan perginya tidak bisa semaunya kita atur. Kita cuma bisa mengatur diri kita dan keluarga terdekat bagaimana menyikapinya.

Awali dengan penerimaan, acceptance (menerima).  Menerima bukan berarti masa bodoh dengan protokol kesehatan, merdeka nongki cantik dengan teman. Acceptance artinya menerima kondisi serba tak menentu lengkap dengan resiko dan konsekuensinya dengan lapang dada. Berat memang, yang enteng nulisnya. Karena itu perlu ditulis supaya bisa dibaca ulang oleh para ibu saat sedang lelah menghadapi dunia.

Ketika jiwa sudah bisa menerima, otomatis langkah berikutnya pikiran kita akan bergerak mencari solusi. Setiap pribadi dan rumah tangga memiliki ujian yang berbeda di masa pandemi ini. Bukan diratapi terus menerus hingga tenaga, pikiran, dan waktu kita habis tanpa hasil. Kita tidak bisa makan hanya dengan mengeluh, tidak bisa memenuhi hajat hidup kita dengan keputusasaan.  Ada anak yang harus diurus, pun ada hak kita untuk sesekali ambil jeda dan tarif nafas.

Kalau kita ndak waras duluan, mana bisa mengharap keluarga kita sehat jiwa raga ?

Pandemi sudah terjadi, mau bagaimanapun kita tak mungkin lari. Yang bisa kita lakukan hanyalah adaptasi. Setiap masalah membutuhkan solusi, demi kewarasan diri. Meskipun klise, berusaha, bersabar dan bersyukur, adalah siklus yang kita ulang-ulang selama udara masih bisa kita hirup. Kita tidak punya pilihan selain menerapkan tiga hal tersebut. Jangan sampai memilih yang ke 4, berhenti berusaha, bersabar dan bersyukur berarti berhenti untuk hidup.

"Sesungguhnya jika kalian bersyukur (atas nikmat-Ku), pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih" (QS Ibrahim 7).

Cari sebanyak mungkin alasan untuk bersyukur atas segala karunia. Kita dan anak-anak yang tetap sehat, masih bisa makan dengan layak, masih ada kesempatan untuk bersama.

Sebagaimana sekolah-sekolah yang masih meniadakan tatap muka, beban anak sekolah daring kita terima dulu. Bahwa kita tak punya kompetensi mengajar seperti guru. Belajar daring di rumah berbeda dengan sekolah, baik suasana maupun fasilitas pendukung. Ditambah bila kita tidak punya sarana yang cukup seperti gawai dan sambungan internet, kepada siapa anak bisa mengadu selain pada ibu. 

Sementara kita tahu, korban meninggal akibat Covid-19 membuat anak-anak menjadi yatim piatu. Sedangkan kita masih diberi kesempatan hidup lebih lama untuk membersamai mereka. Jalin komunikasi yang intensif dengan para guru, bila dibutuhkan sampaikan permintaan tambahan waktu. Jangan-jangan  baru saat ini terasa berharga peran guru.

Demikian pula dengan pembatasan kegiatan, sebagai implementasi pembatasan jarak. Dirasa bagi banyak orang ibarat dipenjara. Ketika harus keluar rumah pun was-was, harus selalu bersiaga. Tekanan semacam itu menganggu ketentraman jiwa. Masih adakah alasan untuk berbuat suka-suka, meski terancam kehilangan nyawa ?

Pandemi menggerus banyak sumber penghasilan. Dari turunnya gaji, phk, sampai sepinya tempat usaha. Meratap dan termangu tak akan merubah keadaan. Inovasi selalu jadi tuntutan, tanggap menangkap momen alih-alih kehilangan. Coba cermati, selama pandemi, apa yang masih tetap dibutuhkan ? Apa yang menjadi kebutuhan baru selama pandemi ? Pandemi membuka jalan rejeki orang-orang yang jeli dan mau berusaha. Begitu banyak peluang usaha karenanya dan kita bisa mengambil bagian.

"Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya" (QS. Hud: 6).

Maka jangan berhenti menjemput rejeki yang sudah dijamin Allah, masa kita tidak percaya ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun