Squid Game sebetulnya bukan satu-satunya serial atau film yang mengusung konsep survival game. Produksi Netflix sebelumnya, Alice in Borderland, juga menyuguhkan tema cerita demikian. Ada juga beberapa judul dengan jalan cerita yang memiliki genre serupa, seperti The Hunger Games, Escape Room, Ready or Not, The Hunt, Battle Royale, dan As the Gods Will, yang bahkan dituduhkan menjadi inspirasi plagiarisme yang dilakukan oleh penulis Squid Game (namun beliau telah mengkonfirmasi bahwa ia sudah menyusun naskah ini sejak tahun 2008, adapun kemiripan dalam permainan ialah karena kedua negara tersebut memang memiliki jenis permainan yang sama).
Bukan Sekadar Survival-Thriller Drama
Namun bukan drama Korea namanya jika tidak bisa mengambil hati penonton dengan segala kompleksitas cerita, plot-twist dan pendalaman karakter yang brilian. Sama seperti film Parasite, Squid Game secara tidak langsung menyorot isu sosial yang mengakar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, contoh sederhananya ditunjukan melalui diskriminasi kaum perempuan yang dianggap lemah dan terpinggirkan ketika menyangkut pertarungan, lalu dijadikan alat pemuas hasrat belaka yang mana ketika telah terpenuhi malah dibuang begitu saja.
Kelas sosial juga ditampilkan melalui tugas para staff berseragam merah dan bertopeng yang bekerja dalam pengaturan Squid Game, masing-masing memiliki simbol segitiga, segi empat dan lingkaran pada topengnya.Â
Menurut Hwang Dong Hyuk sang sutradara, simbol lingkaran mewakili para pekerja, mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara atau menjawab ketika tidak dipinta, hanya menjalankan perintah atasan. Lalu segitiga adalah simbol untuk tentara, mereka yang bertugas khusus mengeksekusi pemain. Sementara segi empat untuk manajer, para kaki tangan bagi The Front Man, sang pemimpin yang berhubungan langsung dengan Host, mastermind dari permainan misterius tersebut.Â
Tidak hanya peran masing-masing staff bertopeng, adanya Squid Game ini sendiri menyandung isu kapitalisme dan kelas sosial yang lebih besar. Orang kaya yang memiliki terlalu banyak uang kebingungan bagaimana agar bisa menemukan kesenangan. Hausnya kebahagiaan hakiki yang mereka rasakan menjadikan orang-orang kelas bawah—dalam hal ini para pemain yang terlilit utang piutang dan persoalan hidup lainnya—sebagai objek penghibur mereka layaknya kuda di tengah arena.Â
Cerita ini ditampilkan oleh para VIP yang menonton mereka dari balik kaca saat permainan tengah berlangsung, dan bertaruh untuk sesuatu yang mereka sebut kebahagiaan. Sebuah ironi yang nyata berkebalikan dengan kisah Song Gi Hun, yang bertaruh untuk mendapatkan uang demi mencicil utang dan membelikan hadiah ulangtahun bagi putrinya.
Mengulik lebih jauh tentang kapitalisme, menurut Karl Marx, kapitalisme adalah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh pemilik modal supaya mencapai keuntungan yang maksimal.Â
Tentu saja realitanya sistem ini hanya menguntungkan sebagian kalangan selaku pemilik modal, menekan para pekerja atau buruh dan menyeret mereka pada sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekadar sistem perekonomian, sebagaimana yang disebutkan Ebenstein (1990) dan Ir. Soekarno.Â
Para VIP, termasuk Host dari penyelenggara Squid Game mengabaikan sikap kemanusiaan karena hegemoni kapitalis dan individualisme yang dianutnya. Mereka tidak percaya dengan manusia, oleh sebab itu tidak ada belas kasih dalam aturan-aturan di setiap permainannya, bahkan termasuk dalam management-nya sendiri. Sekali saja tertangkap melanggar, nyawa adalah taruhannya. Mereka pikir tujuan utamanya adalah uang dan kebahagiaan, yang bisa ditukar macam simbiosis mutualisme.
Dialog tentang ini dapat dijumpai pada salah satu episode saat Song Gi Hun dipertemukan dengan Sang Mastermind. Oleh karena itu, mastermind ini berulang kali menanyai Gi Hun, "apakah kamu mempercayai manusia?". Ia bahkan mengajaknya bertaruh ketika menemukan sesosok pemabuk yang tergeletak di tengah hamparan salju yang menusuk di musim dingin, apakah sosok itu akan ada yang membantu atau tidak?