Telah terhitung kurang lebihnya 3 bulan #DiRumahAja digaungkan semenjak Coronavirus Disease 2019 atau yang biasa disebut Covid-19 melanda negeri kita tercinta. Masyarakat dibuat resah dengan banyaknya problema akibat bencana ini. Tak dapat dihindari, seberapapun usaha masyarakat untuk menutup mata dan telinga akan pemberitaan yang semakin mengkhawatirkan, berita-berita yang baik yang buruk itu akan sampai juga di telinga.
Tuntutan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini membentuk masyarakat yang besar akan hak mendapatkan informasi. Media sangat berperan penting di tengah kehidupan publik. Pengaruh media mampu menentukan perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Media sebagai pembawa berita dan informasi memiliki peran yang amat besar dalam membentuk persepsi, sikap dan perilaku masyarakat terhadap dunia nyata, yang merupakan bentuk teori kultivasi. Banyaknya informasi di media mengenai wabah Covid-19 terus meresahkan.Â
Pasalnya, banyak dari pemberitaan justru memberikan stigma buruk dengan menyorot isu negatif. Padahal di saat bersamaan media memiliki andil besar untuk mencegah keresahan dengan menampilkan informasi yang mengajak masyarakat agar lebih berempati di tengah pandemi ini.
Pemerintah memberlakukan belajar di rumah dan WFH atau Work From Home yang dimana keadaan seperti ini media konvensional maupun media sosial menjadi pelarian utamanya. Disisi lain masyarakat memiliki waktu luang lebih banyak daripada hari biasanya terus intens memantau pemberitaan dan perkembangan terkait corona melalui bebagai media.Â
Dalam catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), traffic interter meningkat sebanyak 20% selama masa pandemi corona. Sedangkan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Telekomunikasi Indonesia (ATSI) data meningkat sekitar 10-15%.
Pandemi Covid-19 ini juga telah menyebabkan perubahan perilaku konsumen dalam konsumsi media. Hasil survei Nielsen Indonesia, jumlah pemirsa televisi meningkat rata-rata sebanyak 12-14% atau kurang lebih setara dengan satu juta pemirsa dengan durasi menonton meningkat menjadi 5 jam 46 menit.
Dalam situasi yang sama, media juga memiliki kewajiban untuk memilah informasi yang akan diberikan serta mengedukasi khalayak untuk bagaimana mencegah dan memotong penyebaran pandemi Covid-19 ini. Terlebih saat ini kebijakan pemerintah mengenai new normal akan segera dilaksanakan.Â
Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Sasmita mengartikan, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas. Perubahan seperti ini tentu harus ditambah bersamaan dengan menerapkan protokol kesehatan yang benar agar pelaksanaan tatanan normal baru berjalan dengan baik sekaligus dapat mencegah penularan Covid-19 itu sendiri.
Sayangnya tidak sedikit media sebagai wadah penyampai sekaligus sumber informasi seringkali menyebarkan berita yang mnyesatkan juga meresahkan. Kurangnya berita tentang penanganan menghadapi wabah membuat masyarakat mengambil langkah yang sembrono.Â
Contohnya, banyak masyarakat berbondong-bondong membeli kebutuhan pokok dan menimbun masker serta handsanitizer alias panic buying yang seharusnya hal seperti itu tidak perlu dilakukan. Beredarnya informasi soal membuat DIY (do it yourself) handsinitizer yang tidak sesuai saran dan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
Adanya komunikasi krisis pemerintah juga masih sangatlah buruk. Dari catatan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3SES) ada sedikitnya 37 pernyataan salah pemerintah perihal Covid-19. Dalam hal ini, fungsi kontrol sosial media perlu diberlakukan dengan melakukan kritik serta memilah dan memberikan informasi yang jelas terhadap masyarakat. Untuk menghindari berita yang tumpang tindih sehingga memberikan tafsir yang salah dan tidak memiliki rujukan pasti menghadapi wabah.
Banyak media sebenarnya telah melaksanakan pemberitaan berimbang dan mengedukasi masyarakat terkait tatanan normal baru dengan protokol kesehatan seperti penjelasan memperketat disiplin sosial, menggunakan masker, handsanitizer, mencuci tangan menggunakan sabun, social dan physical distancing, serta pembatasan berkumpul. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk melakukan anjuran yang benar.
Namun, masyarakat juga perlu ditunjang untuk meningkatkan literasi dan berpikir kritis untuk menerima berita yang beredar. Sebagai penerima dan pencari informasi haruslah cermat dalam menghadapi media saat ini. Tidak mudah tergiring opini dengan melakukan cross check terlebih dahulu. Kurangnya literasi media juga menyebabkan berita hoaks mudah sekali menyebar di Indonesia.
Media sebagai pemberi informasi pada publik harus dikuatkan dengan profesionalitas pekerjanya dalam menyampaikan pesannya, yaitu dengan mementingkan dan senantiasa mengedepankan aspek objektivitas. Memperjelas dan mengatur kembali media sebagai institusi bisnis dan institusi demokrasi yang didalamnya menyangkut kepentingan dari dalam organisasi media itu sendiri maupun pihak eksternal organisasi media. Peran media yang sangat besar dalam membentuk opini publik harus mengembangkan mekanisme dalam pemantauan tentang tanggung jawabnya terhadap publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H