Mohon tunggu...
Ain Saga
Ain Saga Mohon Tunggu... -

bekerja di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Derita Sepotong Hati

22 Januari 2014   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Melihat kehadiranku, suamiku terperanjat, wajahnya sepucat kapas. Kutahankan tangisku sambil berdiri di depan meja makan itu.

“ Sampai hati kau, mas, melanggar komitmen cinta kita. Tak kau lihat wajah kedua anakmu ini, mas, selalu merindukan kasih sayangmu sebagai seorang ayah. Betapa aku selalu harus menghibur hati kanak-kanak mereka, bila kau selalu sibuk dan tak ada waktu”, penuh api kumuntahkan segenap unek-unek di dadaku yang kini menjadi tungku kemarahan tak terbendung. Sakit sekali hati ini melihat pengkhianatan ini. Rasanya ingin kubenturkan kepalaku ke tembok tinggi dan mati seketika, daripada menyaksikan dengan mata kepala sendiri, suamiku selingkuh di depan mataku. Segera kupeluk erat kedua anakku dan bergegas meninggalkan tempat terkutuk itu.. Radit dan Deni, dua buah hatiku, seperti tahu perasaan ibu mereka, hingga tak banyak mengeluh dan rewel minta ini dan itu seperti biasa bila kuajak mereka bepergian.

Malam itu, hatiku sungguh gelisah. Berbagai peristiwa berputar seperti sebuah film sinetron picisan. Aku ingat ibuku, yang dulu sempat tak menyetujui pernikahanku dengan Mas Burhan, hanya karena penampilannya yang nyentrik dengan celana Jeans belel dan rambut sebahu pas apel ke rumah. Tapi, akhirnya Mas Burhan mampu meyakinkan ibuku, hingga Desember 2001, kami pun menikah.

Sejak kejadian aku memergoki suamiku selingkuh, sikap Mas Burhan jadi lunak padaku. Ia jarang lembur lagi, lebih care pada Radit dan Deni.kadang kulihat, suamiku melamun dan seperti menyesal atas sikapnya yang menduakanku. Tapi hatiku telah beku dan sulit mencair lagi. Kuputuskan berpisah dengan lelaki itu. Biarlah kusimpan sendiri luka sakit hati ini. Tugasku hanyalah mendidik dan membesarkan dua orang anak yang masih terlalu kecil ketika itu untuk tahu kemelut dalam rumah tangga kedua orang tuanya.

Kulihat, mata Mas Burhan, berkaca-kaca ketika kuutarakan maksudku memintanya menceraikanku, tapi kutepiskan air mata itu. Kucoba tegar untuk berjalan tenang tanpa rasa luka yang menggoyahkan seluruh pohon cinta kami.

“Diajeng Tiwi, aku minta maaf, aku khilaf, Dik, “ sesalnya padaku di suatu malam. Tapi aku hanya bisa menggenggam tangannya. Tanpa sepatah kata, kutinggalkan rumah besarku, bersama Radit dan Deni, buah cinta kami. Kukembali bekerja serabutan dan tinggal sementara di rumah ibuku di kawasan Benhil, Jakarta selatan. Semua kejadian ini semoga menjadi cermin bagi semua keluarga muda agar mampu merawat dan menjaga komitment perkawinan meski godaan datang menderu.

SELESAI.

Based on story someone.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun