Judul : Derita Sepotong Hati
Oleh; Ain Saga
Sebenarnya hidupku sudah nyaman dan mapan dengan gaji suamiku yang lebih dari cukup. Dua anakku, Radit dan Deni, tumbuh besar dan cerdas. Pekerjaan suamiku sebagai seorang Drafter Auto cat di sebuah perusahaan asing membuatku rela melepas pekerjaanku sendiri di salah satu mall besar di kotaku Tangerang.Dua tahun, aku dan suamiku tinggal di komplek BTN tipe 45, yang membuatku tenang, menjalani hari-hariku sebagai ibu rumah tangga biasa.
Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan segera menyiapkan sarapan pagi untuk suami dan anak-anakku. Siang hari aku bisa bersantai menonton televisi dan menemani Si kecil Deni yang masih duduk kelasa dua SD, mengulang pelajaran sekolahnya atau membantunya mengerjakan peer sekolah. Kalau tak ada pekerjaan aku pun bisa lelap tidur siang dan sore hari menanti Mas Burhan pulang kantor.
Tapi roda kehidupan selalu berputar. Seiring dengan pekerjaan suamiku yang padat, karena banyaknya proyek dan tender, suamiku semakin larut pulang. Kadang aku terkantuk-kantuk menunggunya di teras rumah. Aku merasa sangat sedih dan sepi. Betapa tidak? Mas burhan sepulang dinas, malah asyik di depan laptopnya, mengurusi sisa pekerjaan yang katanya masih belum usai dilakukan di kantor hari itu. Padahal, aku ingin banyak berbincang tentang kisahku seharian bersama dua buah hatiku, Radit dan Deni. Aku juga ingin sedikit bermanja dengan suami tercinta setelah hampir seharian kami terpisah oleh rutinitas sehari-hari.
Kadang air mataku menetes tanpa kuundang, bila hari libur minggu pun, suamiku masih harus bekerja lembur di kantor. Ada rasa curiga dan was-was, tapi segera kutepiskan. Bagaimana pun suamiku telah banyak memberi kesenangan dan kebahagiaan padaku dan anak-anakku selama ini. Dari mulai perhiasan, sepatu, pakaian dan uang belanja, apa pun kebutuhanku dipenuhi dengan sempurna. Ah, aku jadi ‘melayang’ bila ingat kenangan manisku bersama suamiku tercinta.
Tapi, makin hari, sikap suamiku makin tak bisa kukontrol lagi. Semakin jarang di rumah, dan makin menjauh dariku. Apalagi, bila kulihat, ia semakin necis dan tampan saja bila berangkat dan pulang kantor. Naluriku mencium gelagat tak baik. Hatiku terasa pedih harus menerima kegundahan yang bagai bisul mau pecah ini. Hhh ...!
Suatu sore, aku mengajak dua anakku, Radit dan Deni, pergi keluar. Sengaja tak kukatakan kepada mereka apa tujuanku yang sebenarnya. Aku hanya meminta mereka mandi, dan segera bersiap pergi sekedar menikmati udara cerah sore itu.
Aku mengajak kedua anakku, mengikuti kemana ayah mereka pergi seharian ini. Padahal, ini hari minggu. Meski sering lembur, tapi tak mungkinlah saban libur weekend, tak ada waktu mengajak anak dan istrinya bersantai sejenak sekedar makan atau berbelanja ke mall seperti kebiasaan kami beberapa tahun belakangan ini.
Ketika berangkat pagi tadi, suamiku tampak keren dan wangi. Membuat hatiku bergemuruh cemburu. Meski tanpa kusadari.Begitu suamiku pergi ke kantor pagi tadi, aku pun bertekad mengikuti kemana langkah kaki suamiku yang selama ini sudah demikian jauh berjarak denganku. Meski tiap habis bepergian, ia kerap membawakanku oleh –oleh, berupa martabak keju kesukaanku atau membelikan peralatan make up kesukaanku, tetap saja aku cemburu, dan sesak hatiku melihat itu.
Aku hafal benar, tempat makan fave kami berdua, dan aku ke sana bersama dua anakku, seperti berfirasat akan keberadaan suamiku di tempat itu.
Deg! Jantungku terasa terbakar, saat mataku menangkap sosok tinggi jangkung kurus sedang berbincang mesra dengan seorang wanita di sebuah café terbuka. Air mataku terasa beku, kupeluk dua buah hatiku, kudekati meja tempat suamiku tengah bermanja saling peluk dengan wanita asing yang sama sekali tak kukenali.