Lingkungan membentuk budaya, lalu budaya yang lahir akan mempengaruhi suatu lingkungan. Meski lingkungan bukan satu-satunya faktor pembentuk budaya, namun seakan hidup berdampingan, keduanya dapat saling mempengaruhi. Lingkungan sendiri terbentuk oleh eksistensi manusia, manusia-manusia yang selalu berubah. Maka mereka mampu beradaptasi. Lantas, perubahan itu menyulam kebiasaan-kebiasaan baru yang menjadi suatu budaya.
Pada era modern ini, orang-orang lebih suka bekerja dalam bidang industri yang menurut mereka lebih bergengsi, lebih nyaman dan lebih meminimalisir kerja berat. Bermodalkan pendidikan setinggi mungkin yang ditempuh selama bertahun-tahun, orang-orang merasa jerih payah mereka patut diapresiasi dengan pekerjaan ringan bergaji tinggi.Â
Dan ya, saya memang setuju dengan hal itu. Dulu, mata pencaharian sebagai petani sudah seperti budaya Indonesia. Kala itu asri, hijau, dan segar. Bahkan airnya pun sejernih berlian. Namun melihat kondisi saat ini, dimana lapangan pekerjaan lebih luas ketimbang lahan pertanian, dimana perusahaan pengelola sumber daya alam lebih banyak ketimbang sumber daya alamnya sendiri, membuktikan bahwa budaya-budaya ini telah beralih masa.
Di Indonesia, terutama kota-kota besar, yang kita lihat di sepanjang jalan hanyalah bangunan-bangunan pencakar langit. Ditambah cerobong asapnya yang menjulang tinggi, memperlihatkan kepada kita betapa tebalnya asap hitam yang bergumul bersama awan.Â
Udara yang terhirup pun terasa pahit dan sesak, membayangkan sekumpulan udara kotor mengandung nitrogen dioksida menghidupi organ dalam kita, membuat saya tersadar bahwa manusia mempengaruhi lingkungan membentuk budaya baru---yang telah merubah iklim. Adanya perusahaan-perusahaan ini juga berkaitan dengan bahan baku.Â
Sebuah perusahaan atau pabrik tentu memiliki suatu hal yang mereka kelola dan bisa berupa apa saja, salah satunya adalah sumber daya alam seperti minyak bumi, kayu jati, kelapa sawit dan sebagainya.Â
Mengingat keramaian yang sempat terjadi di Papua, mengenai alih lahan hutan menjadi kebun sawit berskala besar dan ditebangi hingga digunduli untuk pengelolaan kayu-kayu bernilai jual tinggi.Â
Yang sejatinya, hutan-hutan ini merupakan elemen penting bagi negara bahkan dunia. Hutan Indonesia sendiri-pun dicap sebagai paru-paru dunia dan menurut berbagai sumber, selain sebagai paru-paru dunia atau penghasil oksigen terbesar, hutan hujan tropis mampu mengendalikan suhu hingga menyaring polusi udara. Namun, saat hutan-hutan ini menjadi kebun sawit, menjadi gersang bahkan sudah habis pohonnya---perubahan iklim sangat dimungkinkan untuk terjadi.
Tidak hanya itu, mereka juga mengeruk tanah bumi---menggali kedalaman lautan. Seakan belum puas dengan apa yang telah terjadi pada atap bumi, atmosfer yang menipis, global warming hingga mencairnya gletser di kutub. Membahas persoalan global warming yang juga sempat ramai dibicarakan masyarakat---yang terasa seperti membicarakan diri sendiri sebab manusia menjadi salah satu faktornya. Lagi-lagi, hubungan antara budaya dan lingkungan kembali berkesinambungan.
Kita menyebutnya rumah kaca. Awalnya, efek rumah kaca ini sangat baik untuk bumi. Salah satu ilmuan bernama Joseph Fourier, mengatakan bahwa adanya gas-gas rumah kaca tersebutlah yang membuat iklim bumi layak huni. Tanpa efek rumah kaca, diperkirakan permukaan bumi akan berubah sekitar 60F atau 15,6 C lebih dingin, dikutip dari detik.com (21/11).
Namun kembali lagi membahas manusia-manusia yang selalu berubah, maka mereka mampu beradaptasi. Trend rumah kaca ini-pun dimulai, orang-orang mulai tertarik, mulai berangan-angan memiliki hunian penuh kaca, meski biaya pembangunannya mahal.Â