Mohon tunggu...
Ai Masni
Ai Masni Mohon Tunggu... -

(harus) siap menerima kritik dan saran kalo mau lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu Sekolah

3 September 2012   04:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:59 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kenaikan kelas identik dengan hal yang baru. Baju baru, kelas baru, teman baru dan mungkin juga sepatu baru. Tapi untuk orang sepertiku, sepatu adalah barang mewah yang hanya di dapat jika sepatu lama sudah benar-benar rusak dan tak mampu menampung kaki. Sama halnya seperti baju.

Aku tahu, setiap aku melewati gerombolan anak di sekolah. Mereka sering kali menjadikan sepatu usingku sebagai objek lelucon, yang sukses membuat semua orang terpingkal-pingkal. Namun aku mencoba untuk tak pernah peduli tentang itu. Walau sebenarnya hatiku sering kali goyah akibat ejekan mereka.

Ah, ada hal yang lebih penting yang harus aku pikirkan. Tugas-tugas sekolah mulai menumpuk dan menjerit-jerit minta di selesaikan. Ibu tak punya cukup uang untuk membeli sepatu baru. Sepatu oh sepatu..

Aku biasa di sapa Idam, padahal nama lengkapku Siti Salmah, sangat jauh dari julukan. Bahkan aku tak mengerti darimana asal nama Idam melekat di-

diriku. Kata ibu selama itu baik, terima saja.

Minggu depan ada perlombaan membaca puisi di sekolahku, aku sangat antusias menyambutnya. Tentu aku akan mengikuti lomba itu. Satu puisi bertemakan perjuangan telah siapkan. Dan selama tujuh hari, siang dan malam, aku berlatih membaca puisi yang telah aku buat.

Teman-teman tahu bahwa aku akan mengikuti lomba itu. Hm.. mereka pasti mengejek sepatu bututku. Tapi untungnya, Hani , teman sebangku plus sahabatku selalu membesarkan hatiku. Tubuhnya yang subur bertolak belakang denganku, alam mengajari kami bahwa hidup itu harus saling melengkapi.

“Mana bisa seorang Idam membaca puisi”, tiba-tiba suara Juny terdengar dari kejauhan, tentu saja mereka menyindirku. “ Yaialah, udah kalah duluan dengan sepatunya yang bagus”, sahut Resi yang berada di sebelahnya agak berbisik. Dan tawapun menggema di penghujung ruangan. Aku pura-pura tidak mendengar. Hani, yang sedang mencatat- tugas yang tertinggal mulai emosi,mengomel-ngomel. Aku tidak men-dengarkan omelannya. Pikiranku masih pada puisi dan sesekali sepatu.

Hari yang di tentukan telah tiba, aku mendapat nomor urut 6 dari 31 peserta perwakilan setiap kelas dan beberapa peserta dari luar sekolah.

Nama ku di panggil, perlahan dengan sepatu bututku, mulai melangkah. Hani menyemangatiku. Aku mulai menarik napas, dan..

CERPEN

Kakiku masih melaju meski terlelah

Bara semangat semakin menghujam

Di kala yang tersayang terajut indah

Mimpi-mimpi terus melambai

Mendorongku tuk tetap tegar

Esok, ku tuliskan nada-nada hidupku

Bertintakan seutas senyum

Lebih dari sekedar cerpen

Dunia pun ikut menari

Di saat aku bahagia

Dunia pun ikut berduka

Saatku tak bergairah hidup

Namun mentari selalu menanti

Tuk gapai mimpi..

Tak sadar, gemuruh tepuk tangan mulai menyebar, aku tersenyum dan merasa puas. Aku di sambut Hani yang masih terpelongo, “ gila!!, tadi semangat banget..”, dia memuji . “ aku udah latihan seminggu sebelumnya”. “ Dan hasilnya amazing!!”.Kami berpelukan, aku juga tak percaya antusias penonton begitu besar. Hm.. hari ini adalah hari yang menyenangkan tentu dengan sepatu usangku. Aku menghela napas.

Aku mengikuti acara hingga tengah hari, karena di rumah banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan. Aku titipkan pesan kepada Hani kalau-kalau ada kabar bahagia dari perlombaan ini.

Acara selesai hingga sore, dan belum ada kabar juga dari Hani. Aku gelisah, mungkin banyak juga yang pembacaan puisinya jauh lebih bagus. Aku hampir putus asa. Hingga malam hari pun kabar yang di tunggu-tunggu tak kunjung datang, paling tidak kabar terburukpun tak apalah, yang penting ada kepastian.

Kring..kring.., handphone ku bordering, aku langsung meraihnya dan membuka pesan, dari Hani !.

“Selamat yaa…kamu juara ke-2 ( aku meletup-letup bersyukur) dan kamu pzti seneng bgt, dgn hadiahnya”, dia tidak menyebutkan apa hadiahnya, aku penasaran, dan langsung aku balas,”Alhamdulillah.. mksih, ap hdiahnya??”, ketik ku dengan singkat. “ sepatu!!”, dia langsung membalas, ahh aku tak punya kata-kata lagi selain tersenyum selebar-lebarnya hingga aku lupa membalas sms dari Hani dan mengucapkan terimakasih, tapi aku tahu pasti dia mengerti, aku terlalu bahagia.

Tapi apakah sepatu hadiah perlombaan itu muat untuk ukuran kaki semungil aku. Dan bagaimana jika sepatunya adalah jenis sepatu untuk ke pesta?, Tak apalah, yang terpenting aku punya sepatu baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun