Mohon tunggu...
Ai Maryati Solihah
Ai Maryati Solihah Mohon Tunggu... Human Resources - Setiap diri kita memiliki potensi yang melebihi ekspektasi diri, maka kembangkanlah sesuai Tuhan memberimu fitrah tersebut

Memaknai kesempatan pemberian sanga Maha Kuasa dengan sebaik-baiknya memberi manfaat bagi orang lain, ayo bergandengan tangan, sinergi, berkolaborasi untuk dunia lebih baik, damai, tentram dan sejahtera

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Saatnya Menyudahi Kekerasan Pada Anak

10 Maret 2021   23:57 Diperbarui: 11 Maret 2021   00:03 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rasa pilu dan sedih saat mengetahui seorang bayi mungil yang usianya belum 1 tahun meninggal ditangan ayahnya dengan dianiaya dan digigit bagian pipinya. 

Seorang anak yang dirantai oleh orang tua karena suka meninggalkan rumah, anak digelonggong karena rewel hingga tewas, anak diracun hingga meregang nyawa karena cekcok berkepanjangan suami istri dalam rumah tangga. 

Adanya hukuman fisik anak Paskibra yang diduga jadi pemicu hingga meninggal dunia, anak sekolah yang diajak lakukan hubungan seks three some oleh Gurunya, bahkan perkosaan ibu kandung terhadap dua anak laki-lakinya. 

Fenomena kekerasan fisik hingga seksual yang diderita anak dari mulai derajat tidak manusiawi hingga penderitaan yang begitu kuat dan diakhiri terenggutnya nyawa berkelindan di area yang semestinya begitu besar mencurahkan kasih sayangnya yakni dalam keluarga dan Pendidikan.

Kondisi ini menjadi headline berbagai media dan menjadi kegetiran tersendiri saat kita melihat menjulangnya gunung es kekerasan pada anak dalam data statistika di sekolah bahwa 42% remaja laki-laki dan 24% remaja perempuan setidaknya satu kali diserang secara fisik pada 12 bulan terakhir. 79% anak SMP dan SMA mengalami perundungan dalam 30 hari terakhir dalam survei GSHS 2015/survei kesehatan berbasis sekolah 2015.

Sedangkan data prevalensi kekerasan yang dilakukan oleh Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018) menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. Selanjutnya 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik. 

Dapat disimpulkan bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Angka kekerasan pada anak laki-laki 61,7% dan 62% kekerasan pada anak perempuan, meliputi kekerasan fisik, psikis, emosional dan kekerasan seksual selama anak hidup. Populasi survey yang diukur adalah individu yang tinggal di Indonesia dengan rentang usia antara 13 -- 24 tahun. SNPHAR 2018 adalah Survei Rumah Tangga Nasional yang dilaksanakan di 150 kabupaten/kota dari 32 provinsi. Survei mencakup 11.410 rumah tangga yang tersebar di 1.390 blok sensus.

Dalam konteks penyediaan layanan pengaduan, masalah kekerasan juga belum sepenuhnya teradukan. Kondisi di masyarakat masih selalu terhalang tembok paternalistik yang menunjukkan privatisasi masalah, aib keluarga, bahkan urusan yang tidak dipandang pidana. Sehingga angka kekerasan pada anak kerap hanya diketahui setelah berakhir tragis. Di KPAI angka di atas linier dengan tingginya pengaduan walaupun belum teradukan secara optimal---dan hasil pemantauan KPAI pada kasus-kasus kekerasan. Berikut adalah angka kekerasan seksual pada anak ditahun 2018 paling tinggi yakni 182 kasus, kekerasan fisik 166 kasus, anak korban kekerasan seksual secara online 116 kasus, anak korban perundungan di sekolah 107 kasus, dan anak korban prostitusi 93 kasus.

Sesungguhnya data merupakan angka-angka yang perlu kita pahami dalam skema penanganan ke depan. Untuk masuk dalam RPJMN misalnya pembagian area kerja pemerintah dan masyarakat berupaya menyatukan pandangan bahwa musuh kita adalah jelas di depan mata untuk kita keroyok bersama. Bagaimana mengawalinya? Iklim kekerasan adalah iklim patriarkhis. Dimana selalu muncul dan subur atas dasar relasi kuasa yang kuat di masyarakat. Asumsi dan anggapan bahwa yang kuat itu yang bisa melakukan segala hal dan itu biasanya dideskripsikan pada laki-laki, ayah, anak laki-laki dan dunia publik semestinya dapat diurai dan diredefinisi dengan deskripsi yang lebih tepat.

Relasi kuasa bapak pada ibu, ayah ibu pada anak, kakak pada adik, anak laki-laki pada anak perempuan, teman laki-laki pada teman perempuan, hubungan pacar; laki-laki pada perempuan, bukanlah sebuah relasi kuasa yang structural dan menindas. Hubungan ini dapat menjadi arah yang seimbang dan setara dalam membangun kehidupan. Hubungan ini dapat dimaknai saling membutuhkan, saling berbagi dan saling membantu, bukan justru seseorang boleh semena-mena pada seseorang. Dalam teori dominasi patriarkhi yang menjadi bagian dari proses perkembangan ilmu kriminologi, memang dapat kita jumpai, kekerasan terjadi terutama yang menjadi focus pada kejahatan seksual yang diarahkan kepada wanita sebagai korban baik yang sudah dewasa, maupun terutama (anak-anak). 

Untuk itu sebagai bangsa yang besar, seharusnya mulai meredefinisi bagaimana membangun hubungan adil setara dalam keluarga dan social, agar berkembang pula iklim kondusif dalam menekan iklim patriarkhi tersebut. Salah satunya dengan melakukan pengenalan dan pembahasan keseharian bahwa masyarakat Indonesia memiliki nasional karakter bangsa yang sangat heterogen dan saling menjunjung tinggi identitas berbangsa tersebut. Dikaitkan dengan perempuan dan laki-laki sebagai para pejuang bangsa, pahlawan yang memerdekakan bangsa, mereka sama sekali tidak mempersoalkan adanya perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Wujud pahlawan nasional dari Jawa RA Kartini, Aceh Cut Nyak Dien, Sunda Dewi Sartika, Minang Rohana Kudus, Timur Marthatiahahu dan lain-lain merupakan kolaborasi terpatahkannya hanya sumbangsih laki-laki dalam membangun bangsa ini. Sehingga penghormatan pada perempuan harus dimiliki semua orang.

Dalam konteks anak, redefinisi penghormatan pada anak memang harus terus digenjot oleh berbagai sector. Bukan hanya program negara, melainkan keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah daerah harus memiliki pola pendekatan inklusif, membangun hubungan social yang massiv dan terstruktur meyakinkan dan memastikan bahwa anak merupakan manusia utuh yang memiliki hak dan martabat yang sama dengan manusia lainnya untuk hidup aman, layak dan dihargai, dihormati dan dipenuhi hak-haknya. Pada aras inilah kondisi ketidakberdayaan anak kerap dipahami sebagai kelompok yang mudah, cenderung boleh dinomorduakan, bahkan diantaranya disalahgunakan dan didiskriminasi. Tentu maraknya kekerasan pada anak diwarnai oleh masih lekatnya cara pandang tersebut di masyarakat. Sehingga tantangan menguatkan iklim menghormati, memenuhi dan memajukan hak anak adalah strategi mendesak yang harus dilakukan semua kalangan.

Lahirnya UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, menegaskan kembali bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya psl 13 dan kini hasil revisinya dalam UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Pencegahan dan penanganan anak yang menjadi korban kekerasan membutuhkan multi dimensi.

Sebagai perangkat  utama adalah mengembangkan iklim pemenuhan hak anak dalam keluarga dan lingkungan rumah. Posisi dimana anak berada harus mampu membuka kotak pandora pada terselenggaranya pengasuhan ramah anak dalam keluarga. Nilai-nilai dan budaya keluarga harus menghapus jejak sekecil apapun kekerasan terjadi. Keluarga menjadi benteng utama pertatutan nilai keadilan, saling menghormati, saling melindungi dan menghargai perbedaan identitas tubuh dan perbedaan minat dan bakat yang sering kali muncul dan membutuhkan pengarahan dan bimbingan dari orang tua.

Kemudian lingkungan terdekat anak kedua yakni pencegahan kekerasan di sekolah, anak akan berinteraksi dengan ratusan persen perbedaan yang ia temukan di dalam keluarga yang sesungguhnya ia akan membutuhkan rung berfikir, bersosialisasi, berserikat bahkan mengambil keputusan-keputusan yang mungkin ia sendiri belum sepenuhnya mampu. Di sisi inilah peran guru dan peraturan sekolah serta perilaku budaya sekolah memainkan peran dominan dalam membangun iklim anti kekerasan, iklim saling memberikan kepedulian, mendengar pendapat anak dan saling memberikan solusi dan pemecahan masalah.

Sekolah ramah anak yang saat ini sedang digaungkan pemerintah dalam kerangka mensupport budaya anti kekerasan di sekolah agar anak menjadi subjek atas dirinya dan lingkungan sekolahnya dimana kini ia berada harus terus dibangun. Saat ini Rendahnya jumlah Sekolah Ramah Anak sebesar 11.097 SRA dari 211.646 Sekolah (5,24%), dengan kondisi lingkungan sekolah anak yang masih rawan kekerasan, keracunan, kecelakaan, kotor, kondisi gedung yang mudah rubuh jika ada bencana, NAPZA, rokok, radikalisme, lingkungan tidak sehat, pergaulan bebas, dll menjadi tantangan peningkatan sekolah menjadi wajah perindungan anak Indonesia. Tugas orang dewasa, guru, dan pemerintah berupaya maksimal dalam meberikan sarana dan prasarana agar anak menjadi pribadi unggul, berkarakter dan menikmati masa-masa belajar bermain dan bersosialisasi di sekolah.

Berikutnya anak dalam lingkungan sosial di masyarakat, anak lebih lebar lagi mendapat aneka ragam perbedaan dan situasi yang berbeda dengan lingkungan keluarga dan sekolah. Tantangan semakin nyata saat interaksi itu melahirkan pertentangan nilai, pertentangan cara penyelesaian dan perilaku. Pada konteks ini anak membutuhkan sistem nilai dan tata nilai masyarakat yang berkomitmen dan terikat dalam situasi perlindungan. Ragam entitas, ragam budaya dan ragam sistem nilai harus bermuara pada perlindungan anak, menghormati, menjunjung dan memajukannya. Tugas keluarga, Lembaga pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dunia usaha dan didalamnya pemerintahan terkecil RT, RW Kelurahan membaur membangun situasi dan kondisi yang melindungi anak.

Pencegahan kekerasan pada anak dapat kita amati dalam peraturan Menteri PPA No 2 tahun 2017 tentang partisipasi masyarakat yang sesungguhnya memberikan pedoman, masyarakat dimanapun akan melakukan tugas pemberdayaan di akar rumput dalam membangun iklim perlindungan anak. Pada pasal 7 dikatakan negara mendorong upaya sosialisasi, penyuluhan, pengawasan, pelayanan, pelatihan, penyediaan sarana dan prasaranan, advokasi, pembinaan, fasilitasi kajian bahkan penyediaan permodalan untuk membangun pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak. Untuk menjadi bagian urgen masyarakat dalam membangun budaya ramah anak peraturan ini bukanlah hanya menampung peran serta masyarakat. Namun lebih dari itu, negara harus memiliki peta kondisi, peta intervensi dan peta kerawanan dimana masyarakat bisa saling melakukan sinergi dengan data-data yang tersedia. Upaya ini melahirkan kontinuitas pergerakan dalam menekan iklim kekerasan menjadi iklim budaya ramah anak yang membutuhkan peran-peran kebudayaan yang terserak sebelumnya.

Terakhir, pada aspek penanganan memang anak korban kekerasan terutama kekerasan seksual memang membutuhkan intervensi yang sangat khusus, dalam UUPA psl 69 setidaknya penanganan dan pemulihan melingkupi a. edukasi yang didalamnya ada Pendidikan kesehatan reproduksi, nilai agama yang melindungi jiwa raga, nilai kesusilaan yang harus dijadikan pedoman dalam hidup dan berinteraksi sosial, kemudian b. rehabilitasi social pemampuan fisik dan psikologis untuk kembali sehat, pulih dan berfungsi secara wajar baik untuk dirinya dan berinteraksi dengan lingkungannya, c. pendampingan psiko social adanya rekam medis, mental dan arena konsultatif bagi pengobatan hingga pemulihan anak korban membutuhkan kesabaran dan kepastian anak kembali secara wajar, dan selanjutnya adanya pemberian perlindungan dan pendampingan bagi anak untuk waktu yang ditentukan agar benar-benar pulih dan terbebas dari situasi traumatis dan masalah fisik yang ia derita.

Jalan Panjang ini sesungguhnya yang sangat sulit ditempuh jika kita bandingkan dengan beragam strategi pencegahan dalam menyurutkan budaya patriarkhisme dan kekerasan pada anak. Sebab hasilnya, anak korban mendapat layanan rehabsos memang anak belum tentu kembali menjadi sosok yang benar-benar pulih. Untuk itulah agenda yang terus dan harus perlu peningkatan adalah berbarengan dengan upaya penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus (kekerasan) di berbagai tempat, terutama di daerah. Mandat UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah secara eksplisit mengatakan urusan konkurent terkait layanan pemberdayaan pada perempuan dan perlindungan pada anak perlu penerapan yang eksplisit dan implisit. Sebab layanan rehabilitasi pada korban baik perempuan dan anak pada prakteknya memerlukan koordinasi tingkat regional, nasional dan bahkan internasional.

Peran serta inilah yang harus menjadi kekuatan bersama dalam menyiapkan generasi unggul dan berkualitas menyongsong bonus demografi di tahun 2045 nanti. Saatnya anak-anak bangsa berdiri kuat dan tangguh terbebas dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi yang saat ini menjadi tantangan. Semoga tahun 2020 dengan formulasi pemerintahan baru dan komitmen berkelanjutan, Indonesia menjadi benar-benar negara yang mampu mengayomi anak dan masyarakatnya, tumbuh subur menjadi pribadi yang berkualitas, berakhlak dan berkarakter. Saatnya anak Indonesia terbebas dari segala bentuk kekerasan.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun