Rasa pilu dan sedih saat mengetahui seorang bayi mungil yang usianya belum 1 tahun meninggal ditangan ayahnya dengan dianiaya dan digigit bagian pipinya.Â
Seorang anak yang dirantai oleh orang tua karena suka meninggalkan rumah, anak digelonggong karena rewel hingga tewas, anak diracun hingga meregang nyawa karena cekcok berkepanjangan suami istri dalam rumah tangga.Â
Adanya hukuman fisik anak Paskibra yang diduga jadi pemicu hingga meninggal dunia, anak sekolah yang diajak lakukan hubungan seks three some oleh Gurunya, bahkan perkosaan ibu kandung terhadap dua anak laki-lakinya.Â
Fenomena kekerasan fisik hingga seksual yang diderita anak dari mulai derajat tidak manusiawi hingga penderitaan yang begitu kuat dan diakhiri terenggutnya nyawa berkelindan di area yang semestinya begitu besar mencurahkan kasih sayangnya yakni dalam keluarga dan Pendidikan.
Kondisi ini menjadi headline berbagai media dan menjadi kegetiran tersendiri saat kita melihat menjulangnya gunung es kekerasan pada anak dalam data statistika di sekolah bahwa 42% remaja laki-laki dan 24% remaja perempuan setidaknya satu kali diserang secara fisik pada 12 bulan terakhir. 79% anak SMP dan SMA mengalami perundungan dalam 30 hari terakhir dalam survei GSHS 2015/survei kesehatan berbasis sekolah 2015.
Sedangkan data prevalensi kekerasan yang dilakukan oleh Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018) menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. Selanjutnya 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik.Â
Dapat disimpulkan bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Angka kekerasan pada anak laki-laki 61,7% dan 62% kekerasan pada anak perempuan, meliputi kekerasan fisik, psikis, emosional dan kekerasan seksual selama anak hidup. Populasi survey yang diukur adalah individu yang tinggal di Indonesia dengan rentang usia antara 13 -- 24 tahun. SNPHAR 2018 adalah Survei Rumah Tangga Nasional yang dilaksanakan di 150 kabupaten/kota dari 32 provinsi. Survei mencakup 11.410 rumah tangga yang tersebar di 1.390 blok sensus.
Dalam konteks penyediaan layanan pengaduan, masalah kekerasan juga belum sepenuhnya teradukan. Kondisi di masyarakat masih selalu terhalang tembok paternalistik yang menunjukkan privatisasi masalah, aib keluarga, bahkan urusan yang tidak dipandang pidana. Sehingga angka kekerasan pada anak kerap hanya diketahui setelah berakhir tragis. Di KPAI angka di atas linier dengan tingginya pengaduan walaupun belum teradukan secara optimal---dan hasil pemantauan KPAI pada kasus-kasus kekerasan. Berikut adalah angka kekerasan seksual pada anak ditahun 2018 paling tinggi yakni 182 kasus, kekerasan fisik 166 kasus, anak korban kekerasan seksual secara online 116 kasus, anak korban perundungan di sekolah 107 kasus, dan anak korban prostitusi 93 kasus.
Sesungguhnya data merupakan angka-angka yang perlu kita pahami dalam skema penanganan ke depan. Untuk masuk dalam RPJMN misalnya pembagian area kerja pemerintah dan masyarakat berupaya menyatukan pandangan bahwa musuh kita adalah jelas di depan mata untuk kita keroyok bersama. Bagaimana mengawalinya? Iklim kekerasan adalah iklim patriarkhis. Dimana selalu muncul dan subur atas dasar relasi kuasa yang kuat di masyarakat. Asumsi dan anggapan bahwa yang kuat itu yang bisa melakukan segala hal dan itu biasanya dideskripsikan pada laki-laki, ayah, anak laki-laki dan dunia publik semestinya dapat diurai dan diredefinisi dengan deskripsi yang lebih tepat.
Relasi kuasa bapak pada ibu, ayah ibu pada anak, kakak pada adik, anak laki-laki pada anak perempuan, teman laki-laki pada teman perempuan, hubungan pacar; laki-laki pada perempuan, bukanlah sebuah relasi kuasa yang structural dan menindas. Hubungan ini dapat menjadi arah yang seimbang dan setara dalam membangun kehidupan. Hubungan ini dapat dimaknai saling membutuhkan, saling berbagi dan saling membantu, bukan justru seseorang boleh semena-mena pada seseorang. Dalam teori dominasi patriarkhi yang menjadi bagian dari proses perkembangan ilmu kriminologi, memang dapat kita jumpai, kekerasan terjadi terutama yang menjadi focus pada kejahatan seksual yang diarahkan kepada wanita sebagai korban baik yang sudah dewasa, maupun terutama (anak-anak).Â
Untuk itu sebagai bangsa yang besar, seharusnya mulai meredefinisi bagaimana membangun hubungan adil setara dalam keluarga dan social, agar berkembang pula iklim kondusif dalam menekan iklim patriarkhi tersebut. Salah satunya dengan melakukan pengenalan dan pembahasan keseharian bahwa masyarakat Indonesia memiliki nasional karakter bangsa yang sangat heterogen dan saling menjunjung tinggi identitas berbangsa tersebut. Dikaitkan dengan perempuan dan laki-laki sebagai para pejuang bangsa, pahlawan yang memerdekakan bangsa, mereka sama sekali tidak mempersoalkan adanya perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Wujud pahlawan nasional dari Jawa RA Kartini, Aceh Cut Nyak Dien, Sunda Dewi Sartika, Minang Rohana Kudus, Timur Marthatiahahu dan lain-lain merupakan kolaborasi terpatahkannya hanya sumbangsih laki-laki dalam membangun bangsa ini. Sehingga penghormatan pada perempuan harus dimiliki semua orang.