Kita berduka terhadap korban yang jatuh, prihatin atas banjir yang terjadi. Namun penyebab tetap harus dicari. Adakah ini memang bencana yang tak bisa dielakkan, ataukah kelalaian yang terjadi?
Tak mudah untuk mencoba mendudukan masalah atas banjir. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat saya tanya soal perselisihan antara Menteri Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono yang mengkritik dirinya soal Normalisasi yang baru dilakukan 16 dari target 33 Km, menjawab,
"Saya siap menjawab apapun terkait banjir. Kami bertanggung jawab atas apa semua yang terjadi, tanpa menyalahkan apapun!"
ANIES SIAP JAWAB!
Hanya saat ini Anies tidak mau berdebat soal penyebab banjir, karena ia mengatakan masih selayaknya fokus diarahkan pada evakuasi dan penanganan tanggap darurat menyelamatkan termasuk merawat korban banjir di pengungsian dan rumah-rumah mereka, bersama-sama 120 ribu pekerja Pemprov DKI yang bekerja 24 jam, juga dibantu TNI, Polri, BNPB hingga Pemerintah Pusat.
KRITIKAN BASUKI UNTUK ANIES
Basuki sebelumnya berkilah sesaat setelah melakukan pemantauan via udara bersama dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Lepas dari pemantauan udara, Menteri PUPR Basuki menyampaikan,
"Mohon Maaf bapak Gubernur dalam penyusuran kali Ciliwung Nyata! Sepanjang 33 km yang sudah ditangani normalisasi 16 km, di 16 km itu kalau kita lihat Insya Allah aman dari luapan, tapi yang belum dinormalisasi tergenang!"
Lepas disampaikan Basuki, Gubernur Anies menjawab..
"Untuk normalisasi Mohon maaf Pak Menteri saya harus berpandangan karena tadi Bapak menyampaikan jadi selama air dibiarkan dari kawasan Selatan masuk ke Jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan. Maka apapun yang kita kerjakan di kawasan pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya. Jadi kita sudah menyaksikan di bulan Maret yang lalu di kawasan Kampung Melayu yang sudah dilakukan normalisasi itupun masih mengalami banjir yang cukup ekstrem!"
SILANG PENDAPAT DUA PEJABAT
Silang pendapat terjadi. Ada 2 perbedaan. Pertama Basuki menekankan Normalisasi pada upaya hilir yang menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.Â
Sementara Anies menekankan pada upaya Hulu, dalam proses membuat Bendungan Raksasa yang kini belum rampung dikerjakan oleh Kementerian PUPR.
Apakah keduanya bisa menjamin banjir di Jabodetabek?
Tidak ada jawaban pasti. Yang jelas, ada juga yang dilupakan yakni jalur tengah, di mana mayoritas dari 13 sungai yang mengalir ke Jakarta melalui Kota Depok.Â
Hasil wawancara saya dengan Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna, ada 23 Setu masing-masing seluas 5 hingga 10 hektar, tidak dirawat dengan baik.Â
Kondisinya kini, ditanami alang-alang, pendangkalan dengan kedalaman hanya kurang dari 1 meter, dari seharusnya sekitar 5 meter. Menurut Pradi ke-23 setu ini tidak bisa dilakukan perbaikan oleh Pemkot Depok, karena milik Pemerintah Pusat.
Selain data di atas, saya menemukan pula data yang menyebutkan bahwa naturalisasi sungai Ciliwung misalnya, baru akan dikerjakan tahun 2020 ini, karena anggaran yang baru ditetapkan tahun 2019. Hal ini sempat disampaikan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, Bambang Hidayat pertengahan tahun lalu.
CURAH HUJAN TINGGI YANG TAK PERNAH TERJADI
Selain juga Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), menyebut bahwa curah hujan saat tahun baru lalu tidak pernah terjadi sebelumnya.Â
Jika banjir besar 2002, 2007, 2013, rata - rata berkisar pada curah hujan 100 mm per hari. Saat tahun baru kemarin naik 3 kali lipat lebih menjadi 355 mm per hari. Bahkan di kawasan Halim Perdana Kusuma tercatat 377 mm per hari.
Dari semua data yang saya dapatkan ini, saya bertanya kepada ahli Bencana Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Profesor Jan Sopaheluwakan. Apakah Banjir Jabodetabek ini masuk ke dalam bencana atau kelalaian?
Ia menjawab, banjir tak seperti bencana lain. "Banjir bisa dipersiapkan dan diantisipasi!"
BANJIR DI SEPUTARAN MAL DI SENAYAN
Hanya saja, Jakarta misalnya salah perencanaan sejak marak dibangunnya permukiman pusat perbelanjaan. Banjir di seputaran pusat perbelanjaan di senayan pada pertengahan Desember lalu, dipastikan Jan akibat penurunan tanah akibat pembangunan sejumlah mal besar di wilayah Senayan.
"Ya, saya pastikan berdasarkan tim kami yang bekerjasama dengan ITB (Institut Teknologi Bandung), ada penurunan tanah di sekitar Mal di Senayan" kata Jan kepada saya.
Maraknya pembangunan mal di Jakarta sejak akhir 90-an hingga awal 2000-an, praktis membuat potensi banjir semakin tinggi dengan menyumbang terjadinya penurunan permukaan tanah akibat berkurang secara drastis ruang terbuka hijau resapan air.
Belum lagi soal "pencurian" air tanah yang masih mungkin terjadi di sejumlah gedung - gedung pencakar langit di Jakarta. Ditambah semakin ke depan, akibat perubahan iklim, curah hujan berpotensi melonjak sangat tinggi pada satu waktu.
BENCANA ATAU LALAI?
Tak ada jalan lain, selain membuat perencanaan menyeluruh soal banjir Jakarta, baik dari hulu, tengah, hilir, lintas pemerintah pusat, daerah, hingga warga. Dan yang terpenting, harus di eksekusi, segera!
Ketika saya tanya kepada Jan. Banjir raksasa, yang tak pernah terjadi selama puluhan tahun sebelumnya, apakah bencana atau kelalaian?
Sang profesor menjawab,
"Kelalaian yang menyebabkan bencana!"
Saya Aiman Witjaksono...
Salam !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H