Mahasiswa yang terlihat masif dan menyebar di seantero Indonesia, mengingatkan pada aksi serupa menjelang reformasi 1998. Meski berakhir dengan kerusuhan, harus dibedakan antara aksi murni Mahasiswa dengan kemungkinan gerakan penyusup alias provokator yang ada.
Aksi Mahasiswa yang menyebar ke seluruh Indonesia, tak banyak yang sadar bermula dari tanda pagar (tagar) di media sosial #GejayanMemanggil.
Tagar ini selama beberapa hari menggema di media sosial, dan menginspirasi gerakan yang melawan perasaan ketidakadilan di nurani masyarakat.
Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia bergerak di kota - kota mereka, meneriakkan kegelisahan hati dan kegeraman jiwa atas pemberlakuan Undang - Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang dinilai mereka melemahkan KPK dan menguatkan koruptor!
KUTUKAN KPK & KUHP
Selain ada pula pasal - pasal di RKUHP yang dinilai janggal hingga memasukkan peran negara terlalu dalam pada ranah kehidupan pribadi.
Belum lagi soal ancaman demokrasi akibat penambahan pasal - pasal karet yang bisa mengkriminalisasi siapapun tanpa kecuali dengan konteks yang sumir.
Pasal penghinaan Presiden, misalnya, dihidupkan kembali dalam RKUHP, padahal telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP).
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. (KOMPAS.com)
PENYUSUP DALAM DEMO
Aksi menyuarakan perasaan ketidakadilan meluas. Tapi tak disangka, unjuk rasa berujung kerusuhan. Terjadi di sejumlah perimeter (batas keliling) Kompleks Gedung DPR, MPR, DPD, di Jakarta.
Awalnya ada kesan mahasiswa yang melakukan, tetapi belakangan muncul kejanggalan, akan sosok-sosok yang misterius dalam kerusuhan.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian sempat menyebut, aksi mahasiswa pekan lalu, mirip seperti aksi Kerusuhan 22 Mei 2019 pasca Pilpres lalu.
"Kami melihat di Jakarta tidak tepat caranya ada penggunaan bom molotov dan pembakaran pos polisi, pembakaran ban, kekerasan pelemparan batu dan lain-lain dengan menggunakan senjata-senjata mematikan," kata Tito saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Kamis (26/9/2019).
"Ini mirip dengan pola kerusuhan 21-23 Mei. Dimulainya sore hari berlangsung sampai malam hari. Ini terlihat cukup sistematis. Ada pihak-pihak yang mengatur itu," ujarnya. (KOMPAS.com)
Kita tahu pada aksi kerusuhan 22 Mei lalu, ada operasi rahasia yang diduga dilakukan sekelompok orang untuk membuat kerusuhan. Di antaranya adalah dengan memasok preman dari sejumlah titik melalui stasiun Kereta Api di Tanah Abang, Jakarta Pusat, hingga menggunakan ambulan. Termasuk membawa sejumlah "amunisi" seperti batu dan tongkat panjang. (KOMPAS.com)
MODEL YANG SAMA DENGAN KERUSUHAN 22 MEI PASCA PILPRES
Apakah aksi Mahasiswa di Jakarta, pekan lalu, juga menggunakan model yang sama? Polisi masih menyelidiki terkait hal ini
 Tapi satu yang pasti, harus ada catatan, bahwa ada sejumlah pertanyaan terkait kerusuhan 22 mei 2019 lalu yang belum terjawab. Di antaranya adalah, soal martir yang tewas, dan diduga akibat penembakan seseorang.
Siapa seseorang ini? Belum jelas jawabannya, hingga kini!
Apakah karena belum tuntasnya kasus besar masa lalu, lalu digunakan model yang sama saat ini?
Hanya penyelidikan tuntas yang bisa menjawab. Meski ada satu harapan; jangan sampai aksi murni mahasiswa ditunggangi kelompok misterius yang sama, dengan gaya yang serupa, dengan kepentingan yang berbeda.
Mereka mahasiswa, mereka murni bersuara!
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H