Setelah persis sebulan memroses melalui sidang, mulai dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara hingga dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA), Senin (26/3) Mahkamah Agung memutuskan menolak PK yang diajukan Basuki Tjahaja Purnama, Ahok!
Tiga Hakim Agung yang menyidangkan Peninjauan Kembali (PK) Ahok, Artidjo Alkostar sebagai ketua sidang, Salman Luthan, dan Sumardijatmo. Dalam amar putusan, ketiganya memiliki satu pendapat, alias tidak ada perbedaan dalam putusan atau yang populer dikenal dengan istilah dalam pengadilan-tidak ada Dissenting Opinion.Semua hakim menolak permohonan yang diajukan Penasihat Hukum Ahok, salah satunya adalah adik kandung Ahok, Fify Lety Indra.
Tujuh Dasar Pengajuan PK Ahok
Dasar pengajuan PK Ahok ada tujuh poin. Terbagi dalam dua kategori, pertama adalah putusan Buni Yani, sisanya adalah Kekhilafan Hakim dalam memutus perkara di Pengadilan tingkat pertama. Putusan Buni Yani, dianggap Penasihat Hukum Ahok berkaitan dengan Vonis 2 tahun penjara karena pelanggaran KUHP Pasal 156a, Tentang Penodaan Agama, yang dijatuhkan kepada Ahok. Penasihat Hukum Ahok berpendapat, bahwa Ahok dihukum karena Buni Yani menyebarkan postingan yang berisi cuplikan video Ahok di Kepulauan Seribu pada September 2016, yang menyinggung Kitab Suci Al Qur'an, Surat Al-Maidah ayat 51. Buni Yani saat ini tengah mengajukan kasasi atas vonis 1,5 tahun penjara yang diputus Hakim di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat.
Putusan Tanpa Perbedaan
Namun ketiga Hakim Agung itu, tidak mengabulkan PK Ahok. Ketiganya memiliki pendapat yang sama, dan memutus Ahok tetap pada putusan pengadilan sebelumnya, 2 tahun penjara. Hakim PK Ahok, menilai bahwa kasus Buni Yani yang dijadikan sebagai dasar pengajuan Peninjauan Kembali (PK) Ahok, adalah dua delik yang berbeda. Sehingga Hakim tidak mengabulkan poin ini. Sementara poin kedua, seluruh Hakim PK Ahok juga tidak menemukan kekhilafan Hakim di tingkat Pengadilan Negeri, yang dipimpin saat itu oleh Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto, dan didampingi oleh 4 hakim anggota, Jupriadi, Abdul Rosyad, I Wayan Wirjana, dan Didik Wuryanto yang menggantikan hakim Joseph Rahantoknam yang wafat di tengah perjalanan sidang ini.
Upaya Hukum Terakhir & Perkiraan Bebas Bersyarat
Kepada saya, Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi menjelaskan bahwa Proses PK Ahok ini, mengakhiri seluruh proses peradilan atas kasus Penodaan Agama dengan Terpidana Basuki Tjahaja Purnama. Artinya tidak ada upaya hukum lain yang bisa diajukan, karena PK ini bersifat final alias upaya terakhir dalam peradilan. Ahok akan menjalani masa hukuman 2 tahun penjara, dipotong sejumlah remisi bersama narapidana lainnya, yang selalu diumumkan pada hari -- hari besar tertentu, seperti hari besar Keagamaan hingga Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI.
Spekulasi Ahok & Dunia Politik
Dari hitung -- hitungan berdasar remisi -- yang telah dan akan di dapat Ahok ke depan -- Ahok diperkirakan akan mulai bebas bersyarat pada bulan September 2018 tahun ini. Sontak hal ini memunculkan spekulasi baru. Meskipun Ahok sempat melontarkan tidak akan kembali berpolitik, namun data -- data yang mengiringi seolah menampik pernyataan tersebut.
Masih Bertahan Meski Dalam Tahanan
Sebut saja 3 Survei yang dilakukan bahkan pada saat Ahok masih di penjara, akhir 2017 lalu. Poltracking Institute, Indobarometer dan terakhir Median. Dua lembaga survei yang saya sebut di awal, bahkan menempatkan Ahok sebagai 3 besar sosok yang memiliki elektabilitas paling tinggi untuk ditempatkan pada sosok Calon Wakil Presiden. Padahal Desember 2017, adalah bulan ke-8 Ahok berada dalam tahanan. Artinya tahanan, bisa jadi tidak berpengaruh pada dukungan elektoral pada Ahok.
Survei Poltracking yang dirilis November 2017 lalu menyebutkan urutan survey Calon Presiden dengan pertanyaan semi terbuka, maka di dapatlah urutan nama Jokowi & Prabowo pada urutan atas, sementara Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan, serta Ahok. Namun empat nama terakhir ini, masih dalam batas margin error2 persen, sehingga tidak bisa ditentukan siapa yang lebih tinggi, karena terpaut tipis.
Sementara Indo Barometer, justru baru saja merilis hasil surveinya Februari 2018 lalu. Ahok menempati posisi ketiga tertinggi elektabilitasnya untuk calon Presiden, di bawah Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Meski terpaut jauh, Jokowi 32,7 persen, Prabowo 19,1 persen, dan Ahok 2,9 persen, yang bersanding dengan nama- nama seperti Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono yang semuanya terpaut tipis dengan margin error2,83 persen. Lalu Median dan Populi Center juga masih menemukan hasil, nama ahok muncul, di 5 besar sosok yang memiliki elektabilitas tertinggi untuk calon Wakil Presiden.
Spekulasi Politik Ahok & Batasannya
Lalu secara nyata, bisakah Ahok kembali berpolitik? Jawabannya sulit!
Putusan PK Ahok yang final, akan membatasi pergerakan politiknya. Setidaknya ada UU Pemilu yang baru disahkan Undang Undang Nomor 7 tahun 2017, yang mengatur pencalonan Presiden, Wakil Presiden, dan Parlemen (DPR, DPRD, DPD). Adapula Undang - Undang Kementerian Negara (UU nomor 39/2008), seluruhnya mensyaratkan untuk menduduki jabatan tersebut, maka seseorang tidak boleh dihukum dengan status sudah berkekuatan hukum tetap, pada kasus yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau lebih. Pasal 156a KUHP, yang telah diputus pengadilan kepada Ahok dan sudah menjadi kekuatan hukum tetap, memiliki ancaman hukuman maksimal paling lama 5 tahun penjara.
Dari hal ini, tampak terdapat irisan pada frasa 5 tahun penjara. Meskipun bisa jadi ke depan, ada perbedaan dalam memaknai frasa paling lama5 tahun penjara, dengan 5 tahun penjara atau lebih. Sangat mungkin, seperti yang terjadi saat Ahok ditetapkan menjadi terdakwa dan dinyatakan harus mundur karena ancaman hukuman maksimalnya 5 tahun. Terdapat 2 perbedaan pendapat dari sejumlah pakar Hukum Tata Negara soal ini. Jika ini terjadi maka Mahkamah Konstitusi yang berhak untuk memutusnya.
Hanya Satu Undang -- Undang...
Hanya satu Undang Undang yang tidak membatasi Ahok, yakni Undang Undang Pilkada (UU nomor 10/2016) yang mensyaratkan bagi mantan terpidana kasus apapun, dengan ancaman pidana berapapun, boleh mengikuti pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur dan pimpinan daerah lainnya, selama telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bahwa ia adalah mantan terpidana.
Lalu bagaimana spekulasi ke depan dari semua ini? Program AIMAN yang akan tayang Senin malam pukul 20.00 di KompasTV, akan mengupasnya.
Berdasarkan perhitungan jumlah remisi yang telah dan akan diterima, bulan September tahun ini saat bebas bersyarat dan (kemungkinan) akhir tahun ini atau awal tahun depan saat bebas murni, akan mulai tampak sedikit demi sedikit jawaban. Meski, selama berdasar konstitusi, siapapun dengan tujuan apapun yang dianggap baik menurutnya, adalah sesuatu yang melekat baginya, hak.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H