Nefa membuang napas, menatap lembar kerja kosong di laptop. Sudah seharian dirinya duduk dan hanya berjibaku dengan benda mati ini, tapi tidak ada satu pun ide yang mampir di kepalanya. Padahal pihak editor telah menagih kelanjutan naskah berulang kali. Penerbit telah menetapkan tanggal perilisan novel. Dan yang paling penting, banyak pembaca yang dengan setia menantikan karya terbarunya. Tapi tetap saja, Nefa tidak tergerak untuk segera menuntaskan novel. Tidak ada semangat dalam dirinya saat ini.
Wanita bersurai ikal itu melepas kacamata, lalu menyibakkan poninya. Dia meninggalkan meja kerja dan mendekat ke jendela kamar, memerhatikan rumah kosong di seberang jalan. Sepasang manik cokelat tuanya perlahan meredup. Rumah itu pernah dilahap api setahun lalu. Semua benda yang ada di dalamnya hangus termasuk pemilik rumah bernama Dare, seorang pelukis yang selalu menjadi inspirasi Nefa dalam menulis.
"Bukan hanya kamu yang terluka, aku juga," lirih Nefa mengenang sosok yang terluka hatinya karena cinta hingga memilih mengakhiri hidup. Nefa bukannya tidak memahami rasa sakit pria itu, tetapi ia tak mampu menerima keputusan Dare yang dinilainya terlalu bodoh, juga menyesali pilihannya memendam rasa terhadap Dare terlalu lama.
Nefa tersadar dari lamunan saat ponselnya bergetar menampilkan pesan singkat dari seseorang yang cukup sering menghubunginya selama beberapa bulan terakhir. Isi pesannya sangat sederhana.
'Mari bertemu'
Dua kata itu selalu berhasil membuat Nefa bergegas mengganti pakaian dan menemui Andika, seorang teman yang ditemuinya saat pemakaman Dare, seseorang yang turut memikul duka atas kematian pelukis itu. Andika, si pengirim pesan.
Berawal dari saling menyebut nama dan mengaku sebagai teman Dare, Nefa dan Andika mulai berbagi cerita tentang kesedihan satu sama lain hingga kehabisan kata untuk mengungkapkan isi hati mereka dan berakhir duduk diam dengan secangkir kopi yang telah dingin di atas meja.
Â
"Bukan salahmu." Nefa mengatakannya dengan lembut sekaligus jengah sebab untuk kesekian kali harus meloloskan kalimat yang sama. Inilah alasan mengapa dia tidak akan pernah bisa menerima kepergian Dare--tepatnya, cara lelaki itu mengakhiri hidup dengan sengaja. Bukan hanya orang-orang yang patut disalahkan saja yang akhirnya merasa bersalah atas kepergiannya, tetapi mereka yang berhati tulus kepada Dare pun juga harus menderita, salah satunya Andika yang selalu menyalahkan diri sendiri karena terlambat tahu bahwa wanita yang menyakiti hati Dare dan menjadi penyebab Dare mengambil keputusan semacam itu adalah istrinya sendiri.
"Jika bukan salah saya, lalu mengapa hidup saya seperti sedang dihukum atas kepergiannya?" Andika mengenang sang istri yang kini harus menjalani perawatan dengan tenaga profesional.