Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kamar No. 224

7 Agustus 2021   08:07 Diperbarui: 12 Juni 2022   23:58 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source : Ariel/https://id.pinterest.com/pin/987836499492145529/

Tuk tuk tuk.

Bunyi itu berasal dari dalam kamar nomor 224, sebuah kamar tanpa jendela dan hanya terdapat lubang-lubang ventilasi sebagai jalur sirkulasi udara. Tidak banyak perabotan yang diletakkan di ruangan ini. Hanya sebuah ranjang untuk satu orang, meja dan kursi. Terdapat pula lukisan bunga yang tergantung di salah satu dindingnya. Di dalam lukisan tersebut tertanam kamera CCTV.

 Tuk tuk tuk.

Bunyi itu terdengar lagi. Bunyi yang diciptakan oleh seorang wanita yang duduk di ranjang. Ia mengetukkan ujung jemari pada sisi gelas alumunium di atas nampan. Wajahnya nampak bosan, juga tak berselera menyantap menu makan malam yang telah diatur gizinya sedemikian rupa.

"Kenapa tidak makan? Jika makanannya sudah dingin nanti tidak enak lho." Seorang pria menghampiri wanita tersebut. Kehadirannya mutlak mengubah ekspresi muram sang wanita menjadi ceria.

"Aku menunggumu. Kenapa datangnya lama sekali? Sudah tidak sayang padaku ya?" Ucapan wanita itu menciptakan simpul di sudut bibir pria yang telah duduk di sampingnya dan mulai menyuapkan makanan dengan hati-hati.

"Tentu saja masih sayang. Rasa sayangku bertumbuh semakin banyak setiap hari."

Sang wanita mengangguk-angguk, sangat puas mendengar jawaban tersebut.

"Sebentar lagi kita akan memiliki cincin pernikahan."

"Benarkah?"

Si pria mengangguk mantap, lalu bergumam.

"Bagaimana jika kita menemui orang tuamu lagi?" Pertanyaan itu menghentikan aktivitas makan sang wanita. Ia menatap kekasihnya, lalu meraih sendok dalam genggaman si pria dan melanjutkan makan secara mandiri.

"Mereka tidak akan merestui pernikahan kita. Ada baiknya kita tidak lagi membicarakan itu. Fokus saja pada kehidupan kita berdua," ucapnya kembali menatap si pria, dibalas anggukan kepala.

Pasangan muda itu mulai membahas rencana kehidupan rumah tangga mereka hingga sepuluh tahun ke depan, juga bersendau-gurau. Percakapan terhenti tatkala terdengar suara kunci pintu terbuka, disusul dengan kehadiran seorang perawat.

Sang wanita tersenyum menyapa perawat yang membawa nampan kecil berisi obat-obatan. Senyuman itu kian lebar saat perhatiannya beralih pada si pria yang telah duduk di kursi. Perawat mengikuti arah perhatiannya dan tersenyum tertahan, lalu membantunya meminum obat.

Usai memastikan pasien meminum obat, perawat itu beranjak dengan membawa serta nampan makanan yang telah kosong. Setelah terdengar bunyi pintu terkunci dari luar, sang wanita segera mengeluarkan butiran obat yang tadi diminum. Si pria pun mendekat dan meminta sang wanita untuk berbaring di pangkuannya, lantas keduanya terdiam cukup lama, menikmati keheningan bersama.

"Adi, bisakah kamu membawaku keluar dari sini?" Sang wanita menatap penuh harap.

"Kamu bisa melakukannya tanpa bantuanku, Karina." Si pria membalas tatapan sang wanita seraya mengaitkan anakan rambut kekasihnya ke belakang telinga.

"Kembalilah. Mereka menunggumu."

"Mereka yang mengusirku, untuk apa sekarang menginginkanku?"

"Mereka masih peduli padamu."

Wanita itu menggeleng. Sorot matanya menjadi sendu. "Aku tidak akan menemukan bahagiaku jika berada di sana."

"Orang tuamu pasti akan mengusahakan kebahagiaan untukmu," balas si pria. Tangannya tanpa lelah mengusap kepala sang wanita.

"Mereka mengusahakan kebahagiaan mereka sendiri, bukan untukku."

"Tetap saja, kamu tidak bisa selamanya begini. Masih ada kehidupan yang perlu kamu jalani."

"Jika tidak ada kamu di kehidupanku, aku tidak mau. Aku rela kehilangan akal sehatku asal kau tetap di sisiku." Wanita itu meraih tangan si pria, menggenggamnya erat. Lalu, sebulir air mata terjatuh tatkala ia memerhatikan celana prianya yang penuh dengan noda.

"Aku hanya ingin bersamamu. Hari ini, esok, dan selamanya," lirihnya seraya memejamkan mata, menikmati usapan lembut di kepalanya dan terlelap.

"Dia tidak pernah meminum obatnya?" Suara itu samar-samar terdengar di rungu sang wanita. Meski begitu, ia memutuskan untuk tetap memejamkan mata sembari menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.

"Ya. Dia selalu menyembunyikannya di bawah lidah, lalu menyelipkannya di sela-sela tempat tidur saat perawat sudah keluar."

Sang wanita masih mempertahankan posisinya. Hanya saja, tangannya mengepal keras. Hingga ia merasakan sebuah sentuhan, ia segera bangkit dari ranjang dan berlari ke arah pintu yang terbuka, menjemput kebebasan yang selama ini diimpikan. Namun, langkah kakinya dihentikan oleh sekumpulan perawat yang berjaga di depan pintu, membawanya kembali masuk ke kamar dan membaringkannya di ranjang.

Karina, wanita itu mulai meronta dan berteriak. Tangisannya sangat memilukan saat jarum suntik berhasil menembus kulitnya. Dan tepat saat itu, prianya hadir. Belahan jiwanya itu berdiri di dekat pintu dan tersenyum penuh ketulusan kepadanya. Lalu perlahan, sosoknya kian samar dan raib diiringi oleh tangisan sang wanita yang teramat terluka hatinya.

Apa yang salah dengan caranya mencintai? Orang selalu mengatakan bahwa jatuh cinta datang kapan saja, dengan siapa saja. Tapi ketika ia telah memilih sosok untuk dicintai segenap hati, takdir dengan tega memotong bahagianya. Dan yang ia lakukan hanyalah berusaha bertahan, mempertahankan ingatan yang membuatnya bahagia selama mungkin.

Hanya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun