Dahi Dare mengernyit. "Aku tidak ada niatan seperti itu, Nimas ...."
"Bohong!"
"Aku bersumpah tidak akan melakukan hal itu. Aku memang mencintaimu, namun bukan berarti aku akan mengusik hidupmu dengan orang lain."
Nimas menggeleng. "Nyatanya kau telah mengganggu hidupku. Lukisan-lukisan ini ...." Nimas menebar pandangannya dan menunjuk gambar-gambar familiar yang terpajang di dinding. "Jika kamu benar tidak akan menggangguku, bersumpahlah untuk berhenti melukis tempat itu!" Nimas segera melangkah keluar ruangan. Dare terdiam dengan segala luka yang berkecambuk di hatinya.
Pesta pernikahan pun digelar. Dare berdiri di antara kerumunan orang yang ikut berbahagia. Ia berjalan terpincang dengan tongkat, menanggalkan kaki palsunya di dalam mobil.
"Selamat atas pernikahannya. Semoga hidup bahagia." Dare menjabat tangan Andika. Andika balas memeluk hangat tubuhnya.
"Terima kasih," jawab Andika ramah. Sementara Nimas hanya balas menjabat tangan Dare tanpa sepatah kata terucap.
Sepulang dari acara, Dare mengunci diri di dalam ruangan melukis. Empat sisi dindingnya tak lagi berhias lukisan apa pun karena sejak semalam Dare telah menanggalkan semua pajangan itu dan membiarkannya berserakan di lantai. Aroma minyak tanah mendominasi udara di ruangan itu. Dare berdiri tepat di tengahnya membawa korek api. Dengan hati yang kalut ia menyalakan benda tersebut.
"Aku tidak bisa berhenti melukis danau itu. Aku tidak bisa melupakanmu. Tapi, aku bersumpah tidak akan mengganggu hidupmu. Karena itu akan kubawa semua kenangan ini bersamaku. Semoga kau bahagia, Nimas." Dare membuang korek api yang menyala ke lantai. Seketika api langsung berkobar menjalar ke seluruh ruangan, melahap habis lukisan dan semua yang ada di ruangan, termasuk laki-laki itu. Maka tak ada lagi airmata, tak ada lagi luka yang harus dirasa, Dare memilih untuk pergi membawa serta cinta dan kenangan.
TAMAT