Pukul 09.50 pagi, suasana stasiun lempuyangan ramai dipadati orang-orang yang akan melakukan perjalanan jarak jauh dengan KJJ (Kereta api Jarak Jauh) dan juga orang-orang pengguna KRL (Kereta Rel Listrik) dengan tujuan Klaten dan Solo.Â
Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang bergerumun di peron rel, menunggu kedatangan KRL. Ini merupakan kali pertama saya mengunjungi Solo.Â
Selain karena jaraknya yang terbilang cukup dekat dari Yogyakarta dan aksesnya yang mudah, Solo memiliki berbagai potensi wisata yang tidak kalah menariknya dari Yogyakarta.
Sebagai warga Bogor yang pernah menggunakan KRL Jabodetabek, saya merasakan adanya perbedaan antara KRL Jabodetabek dan KRL Jogja-Solo.Â
Selama perjalanan menuju Solo, saya banyak melihat hamparan sawah, yang mana pemandangan itu tidak saya temukan ketika menaiki KRL dari Bogor menuju Jakarta yang banyak diisi oleh bangunan/gedung.Â
Selain itu, petugas yang memberikan informasi mengenai pemberhentian kereta bukan hanya menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi juga Bahasa Jawa. Wah, unik sekali, bukan? Sangat lekat dengan kebudayaan daerahnya.
Perjalanan dimulai dengan lancar dan syukurnya walaupun gerbong dipenuhi oleh para penumpang, tetapi saya mendapatkan tempat duduk sehingga sepanjang perjalanan saya tidak berdiri berhimpitan dengan banyak orang. Kurang lebih satu jam kemudian saya sampai di Stasiun Solo Balapan.Â
Waktu sudah menunjukkan makan siang, saya memutuskan untuk mengisi kekosongan perut dengan melipir ke Pasar Gedhe Solo untuk mencicipi kuliner di sana.Â
Di jalan, saya menemukan kendaraan umum seperti angkot dan bus lokal bernama Solo Trans. Menurut saya, angkot di Solo lebih bagus dari pada angkot di Bogor.Â
Pintunya tidak terbuka ketika angkot sedang berjalan. Pintu angkot akan terbuka ketika menuruni atau menaiki penumpang saja sehingga terasa lebih aman.