Mohon tunggu...
Ailsa Kinasih
Ailsa Kinasih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ailsa

Mahasiswa Program Studi Pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Short Escape to Solo

28 Juni 2023   00:32 Diperbarui: 28 Juni 2023   00:37 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pukul 09.50 pagi, suasana stasiun lempuyangan ramai dipadati orang-orang yang akan melakukan perjalanan jarak jauh dengan KJJ (Kereta api Jarak Jauh) dan juga orang-orang pengguna KRL (Kereta Rel Listrik) dengan tujuan Klaten dan Solo. 

Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang bergerumun di peron rel, menunggu kedatangan KRL. Ini merupakan kali pertama saya mengunjungi Solo. 

Selain karena jaraknya yang terbilang cukup dekat dari Yogyakarta dan aksesnya yang mudah, Solo memiliki berbagai potensi wisata yang tidak kalah menariknya dari Yogyakarta.

Sebagai warga Bogor yang pernah menggunakan KRL Jabodetabek, saya merasakan adanya perbedaan antara KRL Jabodetabek dan KRL Jogja-Solo. 

Selama perjalanan menuju Solo, saya banyak melihat hamparan sawah, yang mana pemandangan itu tidak saya temukan ketika menaiki KRL dari Bogor menuju Jakarta yang banyak diisi oleh bangunan/gedung. 

Selain itu, petugas yang memberikan informasi mengenai pemberhentian kereta bukan hanya menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi juga Bahasa Jawa. Wah, unik sekali, bukan? Sangat lekat dengan kebudayaan daerahnya.

Perjalanan dimulai dengan lancar dan syukurnya walaupun gerbong dipenuhi oleh para penumpang, tetapi saya mendapatkan tempat duduk sehingga sepanjang perjalanan saya tidak berdiri berhimpitan dengan banyak orang. Kurang lebih satu jam kemudian saya sampai di Stasiun Solo Balapan. 

Waktu sudah menunjukkan makan siang, saya memutuskan untuk mengisi kekosongan perut dengan melipir ke Pasar Gedhe Solo untuk mencicipi kuliner di sana. 

Di jalan, saya menemukan kendaraan umum seperti angkot dan bus lokal bernama Solo Trans. Menurut saya, angkot di Solo lebih bagus dari pada angkot di Bogor. 

Pintunya tidak terbuka ketika angkot sedang berjalan. Pintu angkot akan terbuka ketika menuruni atau menaiki penumpang saja sehingga terasa lebih aman.

Dokumentasi penulis
Dokumentasi penulis

Baik, sekian cerita sisipan tentang angkot. Kembali ke Pasa Gedhe. Setelah memasuki lantai 2, saya dibuat bingung karena sangat banyak kios-kios makanan, mulai dari makanan khas Indonesia, hingga luar negeri, seperti makanan ala-ala Perancis dan Korea. 

Awalnya saya ingin mencicipi masakan Perancis yang antreannya sangat panjang. Saya pikir, "Wah ini enak banget kayaknya, ya, makanya banyak yang ngantre."  Namun, saya menggugurkan keinginan saya untuk makan di sana karena lebih tertarik untuk makan Nasi Liwet di kios sebelah.

Dokumentasi penulis
Dokumentasi penulis

Setelah perut terisi, saya melanjutkan perjalanan ke Kampung Batik Kauman. Awalnya, saya berniat untuk membeli kemeja batik. Akan tetapi, tidak banyak yang toko yang saya lihat hari itu sehingga saya menunda keinginan saya itu, terutama juga karena tidak ada yang sesuai dengan budget saya yang notabenenya ini adalah mahasiswa rantauan alias anak kos. 

Di tengah perjalanan mengelilingi Kampung Batik Kauman, saya mampir sejenak ke warung kelontong milik salah satu warga untuk membeli minum. Saya sempat bertanya, "Pak, ini kalau Sabtu-Minggu banyak yang tutup atau gimana ya, Pak? Soalnya saya lihat-lihat sepi banget." 

Akan tetapi, bapaknya berkata bahwa weekend malah seharusnya lebih ramai dan menyarankan saya untuk menyusuri jalan sebelah. Namun, hasilnya pun nihil. Saya memustuskan untuk pergi mencari asupan karena sudah kehabisan energi untuk jalan lebih jauh lagi.

Dokumentasi penulis
Dokumentasi penulis

Dokumentasi penulis
Dokumentasi penulis

Saya berjalan menyusuri gang-gang yang tembok-temboknya dihiasi banyak grafiti, penuh warna-warni. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya saya sampai di kedai es krim legend yang sudah berdiri sejak tahun 1952. 

Kedai ini terbilang cukup besar dan memiliki 2 lantai dengan interior yang sebagian besar berwarna hijau dan putih. Berbeda dengan kedai es krim kebanyakan, di mana pembeli memesan, kemudian membayar pesanannya.

Di sini, terdapat banyak meja dan kursi, pembeli duduk kemudian akan ada waiter yang memberikan buku menu. Setelah pesanan dicatat oleh waiter, pembeli tinggal menunggu pesanan diantarkan, baru setelah selesai, pembeli ke kasir untuk membayar pesanan. Saya memesan es krim Tutty Fruity, tertulis bahwa menu tersebut best seller, harganya cukup terjangkau hanya sebesar Rp25.000,00.

Dokumentasi penulis
Dokumentasi penulis

Dokumentasi penulis
Dokumentasi penulis

Selesai menyantap es krim, saya melanjutkan perjalanan menuju stasiun untuk pulang kembali ke Yogyakarta. Di tengah perjalanan menuju stasiun, saya baru tersadar ada yang kurang, Ternyata benar saja, topi saya tidak ada, Saya coba ingat-ingat kembali, terakhir kali saya menaruh di kursi kedai es krim. Saya langsung kembali lagi ke sana, bertanya ke pegawai apakah terdapat topi berwarna coklat yang tertinggal.

Syukurnya, topi saya sudah diamankan oleh pegawai di sana. Huft.. tenang... Ini bukan pertama kalinya saya kelupaan/ketinggalan barang, memang dasarnya pelupa. 

Setelah mengecek kembali barang-barang yang saya bawa dan memastikan tidak ada yang tertinggal, saya melanjutkan kembali perjalanan kembali menuju Yogyakarta. Begitulah perjalanan singkat ke Solo yang tidak lupa diselingi peristiwa tidak terduga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun