Hari Raya Idul Fitri lekat dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari dimana para muslim merayakan kemenangan setelah berjuang di bulan Ramadhan.
Adalah sebuah fenomena yang lazim kita temui, ketika Ramadhan berlalu maka berlalu pula kebaikan dan ketaatan dalam menjalankan ibadah. Masjid kembali sepi. Kesemarakan berinfak kian memudar. Kelembutan hati dan perilaku yang memancar selama bulan Ramadhan menjadi sirna.
Padahal, Ramadhan seyogyanya dapat membantu kita membiasakan kebiasaan-kebiasaan baik di 11 bulan lain di luar Ramadhan. Shalat berjamaah, berinfak, berbuat baik kepada sesama adalah nilai Islam sepanjang zaman, bukan hanya saat Ramadhan.
'Jobdesc' kita sebagai hamba Allah Ta'ala selayaknya berlaku di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu. Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta'ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya?
Lantas, bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari 'program kaderisasi' di bulan Ramadhan?
Imam Ibnu Rajab berkata: "Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta'ala untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya.
Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta'ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut". (Kitab Latha-iful ma'aarif, hal. 311)
Itulah sebabnya, istiqamah menjadi penting. Istiqamah dalam berbuat baik bisa jadi merupakan salah satu indikator diterimanya ibadah kita di bulan yang berkah. Telah diriwayatkan dalam hadits Bukhari, bahwa amal ibadah yang paling dicintai Allah swt adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit. Bahkan jika kita istiqamah menjalani amalan tersebut, maka amalan kita akan terus dicatat walaupun kita sedang sakit atau melakukan perjalanan.
Ada pula salah satu hadits yang menggaungkan mengenai pentingnya beristiqamah hingga maut menjemput. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Janganlah kalian terkagum dengan amalan seseorang sampai kalian melihat amalan akhir hayatnya. Karena mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, ia berubah dan mengamalkan perbuatan jelek. Mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi, ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Oleh karenanya, apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal." Para sahabat bertanya, "Apa maksud menunjuki sebelum meninggal?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Yaitu memberikan ia taufik untuk beramal shalih dan mati dalam keadaan seperti itu." (HR. Ahmad)
Hadits ini mengajarkan kita agar kita tidak berbangga-bangga dengan amal shaleh yang telah kita lakukan. Dengan shalat kita. Dengan bacaan Alquran kita. Dengan puasa kita. Dengan amal kebajikan apapun yang kita lakukan. Karena kita tidak tahu bagaimana akhir kehidupan kita.