Mohon tunggu...
Yosilia Nursakina
Yosilia Nursakina Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perlukah kita Bergabung dengan Gerakan Anti-vaksin?

11 Desember 2018   00:08 Diperbarui: 11 Desember 2018   02:25 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, pro-kontra vaksinasi semakin marak. Banyak sekali informasi yang kita dapatkan melalui tulisan di blog ataupun testimoni kisah pribadi tetangga dan kawan-kawan kita yang kemudian tersebar di media sosial. Tidak hanya melalui media online, gerakan ini juga cukup gencar di ranah offline. Sebut saja, demo "Stop Vaksinasi Indonesia, Selamatkan Anak Indonesia" tahun 2010, buku-buku antivaksin, serta seminar yang sangat mempengaruhi kita untuk tidak memberikan vaksin pada anak

Banyak sekali berita anak-anak sakit setelah mendapatkan vaksinasi. Salah satunya di Jawa Timur dimana 90 santri siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan SMA Al Falah, Sumber Gayam, Kecamatan Kadur, Pamekasan 'tumbang' usai divaksin. Jika saya pikir-pikir lagi, mengapa para ahli tetap bersikeras untuk mewajibkan vaksinasi padahal fakta menunjukkan hal yang sebaliknya? Mengapa kita tidak berfokus pada perbaikan nutrisi dan kebersihan lingkungan saja agar kita terhindar dari penyakit?

Tidak hanya itu, Hasil Laporan Akhir Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 jelas-jelas menyatakan bahwa cakupan imunisasi lengkap mengalami peningkatan dari tahun 2012 (66%) ke tahun 2017 (70%). Peningkatan angka cakupan imunisasi juga terjadi pada imunisasi campak (dari 80 menjadi 87 persen), imunisasi polio 3 (dari 76 menjadi 83 persen), imunisasi DPT3 (dari 72 menjadi 77 persen), dan BCG (dari 89 menjadi 91 persen). Hal ini membuat saya teringat akan teori herd immunity atau kekebalan komunal. Bukankah ketika kita sedang berada di komunitas yang persentase vaksinasinya tinggi, maka penyakit akan otomatis terblok dari komunitas saya? Bahkan orang yang tidak tervaksinasi pun terlindungi. Lantas jika ada 7 dari 10 tetangga saya yang melakukan vaksinasi, bukankah saya otomatis tidak membutuhkan vaksinasi?

Banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepala saya. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk membaca.


"AKIBAT DARI GERAKAN MENOLAK IMUNISASI... Pada tahun 2017, Indonesia menghadapi Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi, dengan jumlah sebanyak 954 kasus dengan 44 kematian. Padahal sejak tahun 1990-an, kasus difteri di Indonesia ini sudah hampir tidak ada dan baru muncul kembali di beberapa kabupaten di Jawa Timur pada tahun 2009."

"Kepala Dinkes Jatim Kohar Harisantoso menjelaskan, kejadian yang dialami para santri karena efek psikologi, kecemasan, dan ketakutan setelah proses pemberian imunisasi difteri. Sebab, vaksin yang disuntikkan pada para santri dalam keadaan baik dan masih baru."

"Padahal, berdasarkan konsep kekebalan kelompok, apabila muncul kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di daerah kantong dengan cakupan imunisasi rendah, maka penyebaran penyakit akan cepat sekali. Anak-anak yang tidak diimunisasi berisiko menjadi kasus dan juga menjadi sumber penularan bagi anak-anak lainnya. dr. Piprim B Yanuarso Sp. A(K) menyatakan bahwa kekebalan komunitas terjadi jika cakupan imunisasi > 80%."


Saya tertegun. Bagaimana dengan fakta lain yang pernah saya dengar melalui internet?

"Vaksin mengandung pengawet yang beracun"

Pembahasan: Ternyata, setiap vaksin mengandung pengawet untuk mencegah pertumbuhan bakteri ataupun jamur. Pengawet yang paling sering digunakan adalah thiomersal yang mengandung ethyl mercury. Ethyl mercury sendiri telah digunakan selama lebih dari 80 tahun dan terbukti tidak berbahaya terhadap kesehatan. Merkuri yang beracun adalah methyl mercury yang memiliki efek beracun terhadap sistem saraf manusia sehingga tidak digunakan sebagai pengawet. Beberapa vaksin juga mengandung alumunium, namun dalam dosis yang sangat rendah (0,125-0,625 mg per dosis). Angka ini jauh lebih rendah daripada dosis harian normal (30-50 mg) yang terdapat di makanan, minuman, dan obat-obatan yang kita konsumsi setiap hari.

"Vaksin tidak aman dan punya efek samping yang merugikan"

Pembahasan: Ternyata, vaksin aman digunakan untuk manusia. Semua vaksin yang memiliki izin telah diuji berkali-kali sebelum diperbolehkan untuk digunakan pada manusia. Peneliti juga selalu memonitor setiap informasi yang didapat mengenai efek samping yang muncul setelah pemberian vaksin. Sebagian besar efek samping yang timbul setelah pemberian vaksin hanyalah efek samping yang ringan, seperti demam, bengkak, dan nyeri di tempat suntikan. Walaupun demikian, efek samping vaksinasi masih jauh lebih ringan daripada penyakit yang muncul akibat tidak vaksinasi.

"Vaksin menyebabkan autisme"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun