Laclau-Mouffe mencari suatu strategi politik yang dapat mencapai unitas sekaligus mempertahankan otonomi. Hanya dengan mengkonseptualisasi unitas artikulasi hegemonik (Marchart, 2007:45), tujuan menyatukan gerakan-gerakan berbeda menjadi kompatibel dengan tujuan mempreservasi otonomi (Laclau-Mouffe, 1985:166--7, 178, 181--183, 191). Laclau-Mouffe membangun teori yang memungkinkan gerakan-gerakan demokrasi yang berbeda tanpa bayaran tokenisme, kooptasi, dan asimilasi. Semua gerakan boleh bermunculan, tidak ada satu yang mendominasi dan memaksakan agendanya. Namun, boleh ada suatu kelompok yang memimpin, nodal point dalam blok hegemoni demokrasi radikal, melalui 'bernegosiasi' dengan semua kelompok progresif (Smith, 1998:32).
Setiap kelompok dibolehkan merekonstruksi identitas mereka lewat proses demokratik yang koedukatif. Bukan untuk berkoalisi, melainkan negosiasi yang memungkinkan bangkitnya identitas hibrid baru dan blok temporer. Perbedaan harus dirayakan sebagai hal yang baik, sejauh perbedaan tidak mempromosikan dominasi dan ketidaksetaraan (Mouffe, 1992:13). Demokrasi radikal mempromosikan gerakan-gerakan sosial baru seperti, "urban, ekologis, antiotoritarian, anti-institutional, feminis, anti-rasis, etnik, minoritas regional dan seksual" (Laclau-Mouffe, 1985:159). Tugas pluralisme demokratik radikal adalah berjuang melawan kekuasaan otokratik dalam semua bentuknya supaya menginfilterasi berbagai ruang yang masih diliputi pusat-pusat kekuasaan nondemokratik (Mouffe, 1993:94).
Demokrasi pluralistik radikal hanya dapat berdiri dalam pengakuan atas multiplisitas logika sosial dan keharusan artikulasinya. Namun, artikulasi ini harus selalu diciptakan kembali dan direnegosiasikan. Karena itu, demokrasi radikal disebut juga ketidakmungkinan radikal demokrasi yang dicapai secara penuh (Mouffe, 1992:14). Teori demokrasi radikal menolak teleologi, prediksi saintifik, dan ramalan kenabian eskatologis (Smith, 1998:24). Demokrasi pluralistik radikal adalah demokrasi agonistik yang menuntut menerima konflik dan divisi inheren dengan politik dan tidak ada tempat di mana rekonsiliasi dapat dicapai secara definitif sebagai aktualisasi penuh dari unitas masyarakat (Mouffe, 2000:15-16). Demokrasi pluralis dapat diinstansiasikan dengan sempurna bila ia ditransformasikan menjadi ideal yang menolak dirinya sendiri karena kondisi kemungkinannya pada saat yang sama adalah sekaligus ketidakmungkinan implementasinya yang sempurna.
Paradigma demokrasi yang ditawarkan Cantal-Laclau di atas sangat urgen dan krusial untuk Indonesia. Masyarakat Indonesia, di wilayah manapun, sangat heterogen. Karena itu, gesekan fisik mudah terjadi. Padahal senggol-senggolan pendapat lumrah bagi demokrasi. Demokrasi bukan perang, tetapi game politik. Game ini memiliki trajektori, tetapi membiarkan semua bentuk keunikan dan perbedaan mencuat ke atas panggung politik. Panggung demokrasi adalah milik semua orang. Saling menggangu, berbeda, adalah bagian dari berdemokrasi. Justru menolak berbeda, kita malah menjadi otoritarian, menolak demokrasi.
Artikel ini pernah dimuat oleh harian lokal NTT, Victory News, pada 23 Februari 2019 dan media online Qureta pada 10 Juli 2019. Diposting ulang di sini sebagai sumbangan bagi literasi Indonesia dan NTT. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H