Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tirani Meritokrasi

2 Maret 2021   12:07 Diperbarui: 2 Maret 2021   12:20 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemerintah Indonesia menargetkan mencapai 181 juta penduduk tervaksinasi dari Covid-19 di dalam 15 bulan. 

Menurut peneliti Institute of Resource of Governance and Social Change (IRGSC) Kupang, epidemilog Ermi Ndoen, terdapat lima faktor yang menentukan berhasil tidaknya target ini: ketersediaan vaksin, distribusi, rantai dingin, tenaga vaksinator, terakhir kesiapan masyarakat dan komunikasi risiko (theconversation.com, 19/02/2021). 

Kalau faktor pertama lebih sebagai tanggung jawab Pemerintah Pusat, empat faktor terakhir sangat mengena konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sebagai salah satu provinsi terluar dan terbelakang, kondisi infrastruktur fisik kita tentu saja akan memberatkan rantai distribusi vaksin. Bila jalan jalur provinsi masih melarat, ditambal-sulam setiap musim hujan, dapat dibayangkan wajah jalan antar desa dan kampung. 

Tidak hanya vaksin yang tertatih-tatih untuk sampai di setiap kabupaten, tetapi juga warga yang bepergian ke pusat vaksinasi di kota kabupaten juga terseok-seok secara fisik dan mental. Kondisi musim hujan dan horor pandemi Corona semakin mengharamkan mereka keluar dari rumah dan kampung halaman.

Kemampuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk menyediakan tempat penyimpanan vaksin dengan kriteria suhu tertentu seperti "cold chain equipment" juga menyesakkan dada. 

Tenaga vaksinator yang profesional di tanah kita tidak seberapa. Meskipun demikian, Pemerintah tentu saja sudah sedang mengkalkulasi kemungkinan-kemungkinan penanganan terhadap faktor-faktor ini karena mudah ditengarai letak masalahnya.

Faktor terakhir yang paling aktual sekaligus paling rumit untuk warga NTT: kesiapan masyarakat dan komunikasi resiko. Sebagaimana ramai diberitakan berbagai media, warga Dusun II Batu Putih, Desa Alila, Kecamatan Kabola, Kabupaten Alor pada Kamis siang (18/02) berbondong-bondong mengungsi ke hutan karena takut divaksinasi. Rupanya warga termakan hoaks di media sosial bahwa vaksin mengandung unsur tertentu yang dapat membinasakan badan dan jiwa mereka.

Hoaks lebih berbahaya menggagalkan target Pemerintah dibanding faktor karena kemampuan persebarannya bahkan melampaui daya sintas covid-19 di era globalisasi digital ini. Apalagi hoaks memiliki audiensnya. Maka, menangkis hoaks lebih urgen meskipun juga tidak menafikan unsur-unsur lain.

Warga Batu Putih hanyalah representasi dari sebagian besar warga NTT yang terjangkit "misinformation" tentang vaksin Covid-19. Kita tidak tahu berapa banyak konten hoaks lain yang berserakan di kantong warga kita. Yang tidak kelihatan ini lebih berbahaya karena bergerilya secara laten sehingga sulit dibendung. Lantas tanggung jawab siapa?

Fenomena jenaka, seharusnya miris, warga Batu Putih di atas membuka mata kita bahwa tidak sedikit warga NTT yang tidak memiliki kecerdasaan digital dan penalaran kritis. 

Kedua "soft-skills" krusial di era disrupsi digital ini (Haryatmoko, 2020) merupakan bagian dari kapabilitas yang seharusnya diperoleh individu dari lembaga pendidikan (Yudi Latif, 2020).

Kapabilitas adalah kebebasan substansial atau seperangkat kesempatan yang dapat seseorang pilih dan bertindak (Amartya K. Sen, 1993). Kapabilitas adalah jawaban terhadap apa yang dapat individu lakukan dan menjadi. 

Kapabilitas bukan sekadar kemampuan-kemampuan yang tinggal dalam diri setiap orang, melainkan kebebasan atau kesempatan yang diciptakan oleh kombinasi kemampuan-kemampuan personal dan gerakan sosial, politik, dan ekonomi (Martha C. Nussbaum, 2011).

Sejak awal kemerdekaan Konstitusi melalui pasal 31 UUD NRI 1945 memaklumatkan seluruh warga Indonesia memiliki kesetaraan akses terhadap pendidikan sebagai hak dasar. 

Dengan demikian, kapabilitas ini seharusnya dimiliki setiap warga NTT dan Indonesia bila prinsip kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) akses terhadap pendidikan sebagaimana diamanatkan Konstitusi terlaksana. Warga Batu Putih membuktikan bahwa selama 75 tahun lebih merdeka, amanah Konstitusi tinggal sebagai slogan di atas kertas.

Melampaui kesetaraan kesempatan

Kesetaraan kesempatan sebenarnya merupakan prinsip dasar meritokrasi. Di dalam buku terbarunya, "The Tyranny of Merit" (2020), Michael Sandel mengatakan meritokrasi bernas karena dua alasan: efisiensi dan fairness. 

Lebih efisien bila untuk memperbaiki motor saya yang rusak, saya memakai mekanik yang profesional. Adalah juga "fair" bila orang yang memiliki kompetensi mekanik motor yang dipakai daripada seorang pegawai Gojek.

Meritokrasi mengandung gagasan dasar kebebasan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama. Maka kesuksesan berada pada tangan setiap orang. Kerja keras menentukan keberhasilan. Karena itu, "we get what we deserve". Setiap orang layak mendapatkan apapun selaras dengan kerja kerasnya.

Kesalahan meritokrasi terletak pada asumsi dasar bahwa semua orang memiliki kesetaraan kesempatan. Sehingga pemenang bergantung pada usaha individu. Di dalam teori evolusi Darwin disebut "survival for the fittest": pemenang adalah yang kuat. Padahal, de facto tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang setara.

Seorang anak yang lahir dari keluarga miskin dan tinggal di tempat terpencil di NTT yang buruk infrastrukturnya mustahil, kalau bukan keberuntungan, memiliki akses untuk belajar di sekolah berkualitas dan kampus ternama seperti UGM dan UI sebagaimana lazimnya mudah digapai kebanyakan anak keluarga berada yang tinggal di area perkotaan. Bahkan untuk bermimpi menjadi orang bergelar sarjana pun tidak, lantaran imajinasi dikonstruksi secara sosial berdasarkan lingkungan pergaulan.

Karena itu, arogansi meritokrasi hanya mengkaratkan demokrasi Indonesia. Alih-alih membantu bangsa Indonesia mencapai kesejahteraan umum, tirani meritokrasi hanya menciptakan siapa menang (winners) dan siapa kalah (losers). Yang bekerja keras layak menang. Yang kalah layak menahan malu. Warga Batu Putih adalah kalangan yang kalah.

Lantas apakah ada alternatif terhadap meritokrasi yang laris manis di Indonesia? Sandel menyodorkan kesetaraan situasi, "a broad equality of condition that enables those who do not achieve great wealth or prestigious positions to live lives of decency and dignity---developing and exercising their abilities in work that wins social esteem, sharing in a widely diffused culture of learning, and deliberating with their fellow citizens about public affairs."

Kesetaran situasi melek dan menyentuh kondisi kebutuhan riil setiap orang. Setiap orang dalam situasinya, apapun kemampuan dan pekerjaanya, menyumbang terhadap kesejahtaraan bersama (the common good). Karena itu, pantas mendapatkan ruang untuk belajar dan bertumbuh.

Kerendahan hati sebagai kebajikan kewarganegaraan

Hidup di tengah pandemi ini, tidak hanya kesehatan fisik dan mental yang diuji, tetapi juga kebajikan kewarganegaraan (civic virtues for civic life). Memeluk kebajikan kerendahan hati adalah urgensitas bagi warga Indonesia dan NTT di fase pandemi ini.

Kerendahan hati timbul bila setiap orang memahami kesuksesannya bukan karena jerih payahnya atau talenta, melainkan faktor keberuntungan. "There, but for the grace of God, or the accident of birth, or the mystery of fate, go I." 

Disposisi ini akan membuat kita sadar bahwa tidak hanya Pemerintah, setiap orang yang sukses dan memiliki kelebihan ekonomi, sosial, dan kultural hendaknya bertanggung jawab membantu warga yang lemah. Kelemahan warga Batu Putih adalah kekurangan dan tanggung jawab sosial seluruh warga NTT dan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun