Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Paslon Pebisnis

25 September 2020   05:59 Diperbarui: 25 September 2020   06:05 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saya berkesempatan mengunjungi area persawahan Bena-Linamlutu, TTS, selama dua hari (18-19/09/20). Masih hangat dalam memori saya, Bena-Linamlutu dipenuhi hamparan padang padi beribu hektar yang memanjakan mata ketika saya mengunjungi sahabat-sahabat petani sawah di salah satu kawasan paling potensial di tanah Timor ini pada tahun 2011-2012.

Mirisnya, pemandangan indah tersebut tidak saya dapati selama dua hari kemarin. Berkeliling di atas tanah kering berpasir Bena-Linamlutu, tidak ada lagi petak-petak berisi padi dan tanaman produktif lain. Lahan 'basah' ini sekarang dikuasai semak duri, gamal, dan tanaman liar lain. Sawah-sawah hanya tinggal sebagai kebanggaan historis.

Debit air sungai Noelmina yang menjadi sumber pasokan utama mengalami penurunan drastis. Fredy Jampur, seorang pastor Misionaris Claretian yang turut mengelola sawah di Bena-Linamlutu, bertutur bahwa sudah dua tahun terakhir mereka terpaksa menutup puluhan hektar ladang sawah karena persediaan air semakin menipis.

Bruder Paul Manek yang sudah bertahun-tahun mengelola ratusan hektar sawah di tempat tersebut bahkan bercerita bahwa mereka sudah mengalami kekeringan dan penurunan produktivitas padi sejak lima tahun terakhir.

Di dalam pekan ini pula beberapa teman dari Belu, Malaka, dan Kefa menyampaikan potret yang mirip. Masyarakat mengalami krisis air. Pasokan air dari sumur-sumur warga mengering. Warga menggantungkan asa pada air tengki yang tidak murah harganya. Tidak terhitung berapa banyak hektar area persawahan di Sukabitetek, Dafala, Sadi, dan beberapa tempat lain yang turut menjadi lahan tak terurus.

Secuil cerita pengalaman di atas adalah sampel dari sekian masalah urgen di Pulau Timor dan NTT. Kekeringan adalah isu klise yang sudah setiap tahun mengancam hidup warga NTT. Ironisnya, gangguan kronis semacam ini luput dari mata para Paslon Pilkada 2020 di NTT.

Kita tidak sulit untuk mendignosis masalah sosioekologis seperti ini. Tidak butuh banyak teori, mata telanjang seorang berpendidikan rendah seperti saya pun bisa menangkap kemendesakan kebutuhan warga ini. Maka, kita patut bertanya: mengapa masalah-masalah kritis, misalnya krisis air, raib dari daftar program andalan para Paslon Pilkada 2020?

 Miskin Kompetensi

 J.S. Bowman mencatat tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang pejabat publik: kompetensi teknis (Specialized knowledge, Legal knowledge, Program management, Strategic management, Resource management), kompetensi kepemimpinan (Assessment and goal setting, Hard and soft management skills, Management styles, Political and negotiation skills, Evaluation), dan kompetensi etika (Values management, Moral reasoning, Individual morality, Public morality, Organizational ethics) (The Professional Edge, 2012). Ketiga kemampuan ini berkorelasi. Ketiadaan satu kompetensi akan mempengaruhi kompetensi lain.

Paslon-palson di NTT memiliki banyak cacat bila dinalar dengan kompetensi-kompetensi dasar di atas. Ketidakmampuan untuk mengamati, memetakan persoalan, dan merumuskan solusi di dalam program mengindikasikan ketiadaan kompetensi teknis. Paslon tidak tahu letak masalah dasar dan potensi warga.

Kemungkinan alasan lain adalah Paslon mengetahui kebutuhan mendasar warga, tetapi menutup mata dan menggiring warga dengan rayuan lain untuk mengalihkan warga sejenak dari perihnya penderitaan mereka. Paslon demikian tidak memenuhi syarat kompetensi kepemimpinan dan etis.

Fallacio berpikir

Konsekuensi lanjutan dari kemiskinan kompetensi Paslon adalah menjual program sesuai keterampilan personalnya, tanpa peduli kebutuhan kontekstual warga, dan menghipnotis warga untuk mengiyakan dagangan busuknya. Strategi seperti ini adalah pembohongan dan pembodohan publik.

Fallacio berpikirnya kelihatan. Menjadi pejabat publik berarti Anda mengurusi res publica, bukan panggung pelampiasan inklinasi personal atau pengembangan bisnis keluarga. Mengurus kemaslahatan sosial mengharuskan pejabat publik membangun sistem, bukan mengerjakan urusan medioker menurut preferensi pribadi.

Kalau kita membongkar daftar program andalan para Paslon kelihatan sekali kekeliruan logikanya, ketiadaan urgensitas, dan manipulasi publik. Ada Paslon yang sibuk membangun taman kota dengan aneka tanaman rias, tetapi warganya sehari-hari berdoa untuk bisa membeli air setengki untuk kebutuhan seminggu. Ada Paslon yang berbusa-busa soal infrastrukutr jalan raya beraspal, tetapi warganya hanya mampu berjalan kaki.

Ada Paslon yang menjadikan pengobatan gratis sebagai program andalan. Logika 'common sense' tidak bisa menerima jualan ini sebagai kebutuhan paling mendesak warga. Pengobatan gratis meniscayakan orang sakit. Kalau orang tidak sakit, program ini mubasir.

Pengobatan gratis jelas sekali menyasar akibat, bukan akar masalah. Lebih baik mencegah orang jatuh sakit daripada membiarkan orang sakit baru diobati gratis.

Meskipun labelnya gratis, Pemerintah tentu saja menggelontorkan dana tidak sedikit untuk menyediakan infrastruktur medis. Artinya, tetap terjadi tumbal anggaran.

Padahal, anggaran untuk pengobatan gratis dapat dialihkan untuk penyediaan air bersih untuk warga, irigasi pertanian, renovasi rumah warga-warga yang tidak layak huni, penyediaan sembako murah dan sehat untuk warga miskin di fase pandemi sekarang.

Pengalokasian dana seperti ini meminimalisir kemungkinan warga menjadi sakit. Dengan demikian, akar masalah kita atasi sebelum menimbulkan beragam akibat.

"Post-truth-ers"

Jabatan publik dimaksudkan untuk melayani kepentingan publik. Kesejahteraan umum masyarakat adalah kitab suci seorang pejabat publik. Tidak mudah untuk membidik pos-pos kebutuhan krusial-kritis. Karena itu, pejabat publik harus melibatkan penelitian ilmiah.

Data objektif dari penelitian tersebut akan membantu pejabat publik dalam membaca dan memetakan kebutuhan masyarakat. Konstruksi kebijakan berbasis data ini yang akan membantu pejabat publik untuk mencapai sasaran pemeritahannya.

Prinsip di atas membedakan pejabat publik dari pebisnis. Pebisnis tidak memedulikan kebutuhan pelanggan. Pebisnis malah menciptakan kebutuhan konsumen melalui sandiwara iklan. Mode iklan adalah simulasi hipereal: membangun citra yang berpretensi merepresentasi realitas sehingga efektif untuk meluluhkan konsumen.

"Modus opperandi" iklan sangat efektif dalam mengambil hati orang. Banyak politisi mengadopsi dan mengaplikasikan secara paksa pola kerja iklan di dalam kontestasi politik. Sasaran mereka adalah menguasai afeksi, bukan akal konstituen dengan dagangan-dagangan yang bombastis, tetapi tidak sehat. Taktik kotor seperti ini biasanya dimainkan oleh politisi populis, Paslon pebisnis yang sempit wawasan dan miskin keterampilan.

Mengekspansi mode kerja pebisnis domain politik tidak hanya amoral, tetapi juga semakin menciptakan ketidakadilan sistemik. Berpolitik bukan iklanisasi produk-produk. Rasionalitas politisi seharusnya kritis dan berbelarasa dengan warga, tidak manipulatif. Palson Pilkada kita tahun ini seperti pentolan "post-truth-ers".

"Post-truth-ers" tidak peduli dengan anjuran rasional dan objektif (McYntire, 2018; Uno 2017 no 27). Mereka tidak henti mengoceh afeksi warga untuk memenangkan pertarungan, apapun bayarannya. Perintah Kemendagri untuk para Paslon mengindakan protokol kesehatan dengan tidak mengarahkan perarakan dalam jumlah besar sama sekali tidak dihiraukan.

Bila masyarakat ingin memperbaiki nasib, membangun NTT, Paslon yang berjiwa "post-truth" harus ditepikan. Paslon yang mengejar jabatan publik hanya dengan modal agama dan suku, tetapi tidak berintegritas, dihapuskan dari opsi pilihan. 

Jabatan publik bukan rekreasi karena mengurusi banyak kepentingan. Karena itu, Paslon yang tidak berkompetensi teknis, etis, dan mampu memimpin ditendang dari sayembara Pilkada 2020.

(Artikel ini sudah dipublikasikan media Pos Kupang di Kolom Opini pada Selasa, 22 September 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun