Kira-kira sejak Revolusi Industri abad 18 meletus di Inggris, gelombang sekularisasi mulai menunjukkan moncongnya. Gelombang sosial ini tidak hanya bergejolak di dalam tembok-tembok pabrik yang memperbudak para buruh, tetapi menyasar semua lapisan sosial. Salah satu domain hidup yang terpapar adalah dunia agama yang sangat sakral kala itu.
Tabrakan sekularisasi dan agama tidak terhindarkan karena keduanya berebutan lahan hidup yang sama. Tidak hanya sekularisasi yang memiliki multi sayap, agama juga adalah sebuah sistem wawasan dunia yang menyeluruh (a comprehensive system of life).Â
Di dalam kata-kata sosiolog agama, Jose Casanova, tidak hanya sekularisasi yang berskala global, agama pun berwajah global. Para postmodernis menyebut agama sebagai grandnarasi yang mendaku kemampuan untuk menjelaskan dan memberi solusi atas semua masalah hidup (Simon Malpas, 2003).
Gesekan agama dan sekularisasi membawa dampak 'negatif' pada absolutisme agama. Sekularisasi me-rumah-kan atau mendomestifikasi agama. Agama tidak lagi merupakan pemain tunggal yang 'all round" di atas panggung peradaban dunia. Spirit sekularisasi muncul sebagai pemain baru yang menggusur agama dari puncuk klasemen prioritas hidup masyarakat. Sekularisasi bahkan dituduh membunuh agama. Karena itu, muncul ratapan "pasca-agama" (Post-Religion).
Agama tidak lebih dari fosil tua yang tidak menarik di mata. Agama tidak lebih dari artefak klasik yang bahkan tidak pantas untuk diteduhkan di museum yang ramai pengunjung. Tuduhan ini memojokkan sekularisasi sebagai sekularisme.Â
Bagi para sosiolog, vonis sekularisme justru blunder, tidak setia dengan dinamika lapangan, dan berlebihan mengingat wajah sekularisasi tidak segarang ini. Sekuralisasi berhasil menelanjangi absolutisme agama, tetapi tidak lantas menjadi sekularisme.
Sekularisasi bukan genosida agama
Cap hitam kaum agamawan terhadap sekularisasi di atas bisa ditelanjangi bias kepentingan bila kita meneropong geliat sekularisasi. Jose Casanova meringkaskan demikian. Pertama, diferensiasi institusional lingkup-lingkup sekular seperti negara, ekonomi, dan sains dari institusi-institusi dan norma agama. Kedua, kemorosotan progresif keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik religius. Ketiga, privatisasi agama sebagai prasyarat politik demokratis (Hardiman, 2018). Dengan demikian, sekularisasi tidak berarti genosida atas agama. Sekularisasi hanya memindahkan agama pada kotaknya.
Antropolog Emile Durkheim memberi definisi yang sangat padat pada fenomena sekularisasi, "the process whereby religion loses its influence over various spheres of social life". Sefrekuensi dengan Durkheim, Anthony Giddens memberikan tiga indikator untuk mengukur efek jera sekularisasi terhadap agama, yakni "level of membership; social influence, wealth and prestige; and religiosity: beliefs and values" (6 edt., 2009). Untuk mengukur apakah badai sekularisasi sungguh menelanjangi agama hingga kaum agamawan harus memproduksi litani ratapan "pasca-agama", ketiga indikator di atas akan menjadi rambu-rambu.
Pasca-kekristenan
Untuk menakar dengan tepat pengaruh sekularisasi terhadap agama, "platform" sentimental "pasca-agama" perlu diklarifikasi. Pemetaan konseptual berbasis data ini penting untuk tidak mengkhianati fakta, jujur terhadap kenyataan, dan tidak membingungkan.