Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bias Kepentingan

5 Juli 2020   07:48 Diperbarui: 5 Juli 2020   07:49 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Siapa penguasa? Jawabannya tentu saja banyak. Para sosiolog politik biasanya memetakan tiga sumber kekuasaan (Dobratz, dkk., 2012): "pluralist view, elites/managerial views, class perspective". Perspektif pluralis meyakini kekuasaan tersebar di semua segmen sosial: pemerintah, korporasi, terutama asosiasi-asosiasi dan masyarakat sipil.

Adapaun perspektif "elites/managerial" menolak tesis dasar kekuasan pluralis karena massa tidak lebih dari bola yang mudah digiring ke semua arah sesuai kepentingan elit. Posisi ini membuktikan kekuasaan berada pada segilintir orang, yakni elit pemerintah dan korporasi. Pendekatan "class perspective" semakin mengeksklusifkan pusaran kekuasan pada kelas penguasa. Mereka yang berkuasa dan mengendalikan seluruh sistem sosial hanyalah kaum kapitalis.

Siapakah dalang kekuasaan di balik proyek tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, tanpa penelitian mendalam sulit dipastikan. Apalagi kekuasaan selalu berselubung. Di balik selubung itulah kekuasaan bergerilya dengan efektif. Ketiga sumber kekuasaan di atas berpotensi untuk bermain di balik proyek tambang dan pabrik semen ini.

Sistem demokrasi Indonesia yang memaksa para petarung politik untuk merogoh saku sendiri meniscayakan transaksi politik dengan para pemilik modal. Maka, tidak heran bila rentetan proyek digalakkan usai kursi kekuasaan direbut. Proyek tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok boleh disebut sebagai imbas dan politik balas budi dari transaksi politik di atas.

Berbeda dengan AMDAL yang bergulir dari lingkaran penguasa, kajian-kajian ormas-ormas yang menolak tambang dan pabrik di semen di atas mengalir dari bawah. Karena itu, suguhan data-data kelompok kontra ini relatif lebih valid. Meskipun demikian, kelompok-kelompok ini pun memiliki kepentingan tertentu. Metode dan orientasi penelitian ditentukan sesuai ideologi. Organisasi pecinta alam akan mendukung konservasi lahan hijau, terutama hutan lindung.

Dengan demikian, entah kesimpulan AMDAL dari Pemerintah entah tuntutan penolakan dari ormas-ormas tidak boleh ditelan begitu saja. Kalau demikian, bagaimana caranya mengadakan penelitian yang objektif? Apakah masih ada kajian yang kredibel?

Kajian yang intersubjektif

Di dalam ranah saintifik, kredibilitas sebuah data ditakar dari kadar objektivitasnya: sejauh mana sebuah data sungguh sesuai dengan kenyataan lapangan? Tidak hanya kajian saintis yang mendewakan tesis dasar ini, pendekatan ilmu-ilmu humaniora juga berpretensi demikian: mengambil metode ilmu alam untuk diterapkan pada realitas sosial. Soalnya, mungkinkah sebuah data yang murni objektif, netral terhadap preferensi atau ideologi dikonstruksi?

Sosiolog dan filsuf kenamaan Jurgen Habermas di dalam karyanya "Knowledge and Human Interest" (1971) membuka kedok oragansi klaim objektivitas ilmu-ilmu alam dan sosial. Tidak ada teori yang bebas nilai atau kepentingan. Penelitian semata untuk pengembang ilmu tersebut tetap merupakan sebuah kepentingan, bernilai. Jadi, tidak ada ilmu yang bebas kepentingan.

Semua teori selalu bias kepentingan. Hasil penelitian atau pengetahuan selalu merupakan kolaborasi kreatif antara 'frame' subjek yang sudah selalu berkepentingan dan objek yang juga tidak telanjang lagi. Dengan kata lain, tidak ada satu penelitian pun yang objektif.

Masih terdapat sederet pemikir yang membantah klaim objektivitas atau netralitas kajian-kajian ilmiah. Salah satu yang menarik untuk dipaparkan di sini adalah Karl R. Popper. Ilmuwan Karl Popper di dalam bukunya "The Logic of Scientific Discovery" (1968) mencatat bahwa tidak ada penelitian yang objektif. Kajian yang realistis adalah intersubjektif. Kebenaran hipotetis sebuah pengetahuan tidak disimpulkan hanya berdasarkan kecocokan antara subjek peneliti dan objek eksternal, tetapi melalui falsifikasi dengan peneliti dan sumber lain. Apa sajakah sumber lain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun