Polemik perizinan tambang batu gamping dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur, terus memanas hingga hari ini.
Pemerintah bersikeras melakukan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan melanjutkan proyek tambang dan pabrik semen. Pemerintah mengikhtiarkan pembangunan yang inklusif dan ekologis. Gubernur VBL menegaskan "Dengan berpikir pembangunan yang inklusif, maka kita harapkan pembangunan pabrik semen nanti tetap menjaga agar lingkungan juga tidak menjadi rusak. Ini harus berjalan bersama-sama dan tidak mungkin kita mengabaikan hal-hal seperti itu" (TimexKupang.com, 26/06/2020). Alasan mendasar pemerintah adalah proyek ini akan menyumbang langsung manfaat bagi masyarakat Manggarai Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (SwaraNtt.NET, 25/06/2020).
Adapaun 66 organisasi dan Lembaga menolak dan mendesak pemerintah Provinsi untuk membatalkan perizinan tambang dan pabrik semen tersebut. Alasan mereka, "... investasi pertambanngan dan pendirian pabrik semen ini, alih-alih membawa kesejahteraan, yang terjadi adalah ancaman kehancuran lingkungan dan masa depan masyarakat di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk maupun wilayah di sekitarnya" (Jatam, 18/06/2020; JPICOFMINDONESIA 21/06/2020).
Gereja Katolik Keuskupan Manggarai juga turut melontarkan seruan penolakan atas dasar pembangunan berwawasan ekologis dan mendukung integritas ciptaan. Kondisi geogratif, geologis, ekologis, sosial dan kultural masyarakat NTT tidak cocok bagi pertambangan seperti mangan, bijih besi, emas, dan lain-lain (JPICOFMINDONESIA 21/06/2020, 26/06/2020).
Tidak hanya bergaung di tingkat lokal kabupaten dan provinsi, sorakan penolakan juga menggema hingga ke pusat. Perwakilan Masyarakat Diaspora Manggarai Raya Jakarta meminta Anggota DPR RI untuk mendukung rentetan upaya penolakan atas proyek pertambangan batu gamping dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok (Indonesiakoran.com, 01/07/2020).
Â
Kalau pemberitaan media di atas valid, bukan "framing" media, aneka pendapat dan penelitian berbasis data ini mengerucut pada dua posisi: menerima dan atau menolak. Meskipun demikian, sejauh terbaca dari pemberitaan media tujuan utama kedua posisi ini berorientasi pada kesejahteraan multi-lapis (ekonomi, sosial, kulural, dan bahka ekologis) masyarakat di situs proyek, Manggarai Timur, dan Provinsi NTT.
Kubu pro dan kontra berupaya menyuplai data yang "cover both sides": keuntungan dan kerugian. Bila demikian, data manakah yang valid? Penelitian kelompok mana yang dapat dan harus dipercaya dan dijadikan referensi untuk menilai dan memutuskan kasus tambang dan pabrik semen di atas?
Pemerintah bertekad menempuh jalur AMDAL sebagaimana lazim dilakukan di republik ini dan didukung berbagai lembaga ilmiah. AMDAL bertujuan meneliti, menemukan, dan mengkonstruksi hipotesis atas dampak lingkungan secara ekologis, sosiologis, ekonomis, dan kultural. Namun, AMDAL sangat rentan tersusupi kepentingan terselubung. Pembangunan sering digiring motivasi kapitalisme dan kuasa. Bagaimana modus opperandi-nya?
AMDAL keluar dari kebijakan lingkaran penguasa. Maka, motivasi dasar penelitian sudah memihak, tidak netral. Kekuasaan sudah selalu bias kepentingan, apapun itu, minimal untuk mendongkrak ekonomi jangka pendek warga, dan lain-lain. Kalau penguasa sudah 'memutuskan' di balik layar untuk mengerjakan suatu proyek, AMDAL biasanya akan menghasilkan kesimpulan yang mendukung.
Siapa penguasa? Jawabannya tentu saja banyak. Para sosiolog politik biasanya memetakan tiga sumber kekuasaan (Dobratz, dkk., 2012): "pluralist view, elites/managerial views, class perspective". Perspektif pluralis meyakini kekuasaan tersebar di semua segmen sosial: pemerintah, korporasi, terutama asosiasi-asosiasi dan masyarakat sipil.
Adapaun perspektif "elites/managerial" menolak tesis dasar kekuasan pluralis karena massa tidak lebih dari bola yang mudah digiring ke semua arah sesuai kepentingan elit. Posisi ini membuktikan kekuasaan berada pada segilintir orang, yakni elit pemerintah dan korporasi. Pendekatan "class perspective" semakin mengeksklusifkan pusaran kekuasan pada kelas penguasa. Mereka yang berkuasa dan mengendalikan seluruh sistem sosial hanyalah kaum kapitalis.
Siapakah dalang kekuasaan di balik proyek tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, tanpa penelitian mendalam sulit dipastikan. Apalagi kekuasaan selalu berselubung. Di balik selubung itulah kekuasaan bergerilya dengan efektif. Ketiga sumber kekuasaan di atas berpotensi untuk bermain di balik proyek tambang dan pabrik semen ini.
Sistem demokrasi Indonesia yang memaksa para petarung politik untuk merogoh saku sendiri meniscayakan transaksi politik dengan para pemilik modal. Maka, tidak heran bila rentetan proyek digalakkan usai kursi kekuasaan direbut. Proyek tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok boleh disebut sebagai imbas dan politik balas budi dari transaksi politik di atas.
Berbeda dengan AMDAL yang bergulir dari lingkaran penguasa, kajian-kajian ormas-ormas yang menolak tambang dan pabrik di semen di atas mengalir dari bawah. Karena itu, suguhan data-data kelompok kontra ini relatif lebih valid. Meskipun demikian, kelompok-kelompok ini pun memiliki kepentingan tertentu. Metode dan orientasi penelitian ditentukan sesuai ideologi. Organisasi pecinta alam akan mendukung konservasi lahan hijau, terutama hutan lindung.
Dengan demikian, entah kesimpulan AMDAL dari Pemerintah entah tuntutan penolakan dari ormas-ormas tidak boleh ditelan begitu saja. Kalau demikian, bagaimana caranya mengadakan penelitian yang objektif? Apakah masih ada kajian yang kredibel?
Kajian yang intersubjektif
Di dalam ranah saintifik, kredibilitas sebuah data ditakar dari kadar objektivitasnya: sejauh mana sebuah data sungguh sesuai dengan kenyataan lapangan? Tidak hanya kajian saintis yang mendewakan tesis dasar ini, pendekatan ilmu-ilmu humaniora juga berpretensi demikian: mengambil metode ilmu alam untuk diterapkan pada realitas sosial. Soalnya, mungkinkah sebuah data yang murni objektif, netral terhadap preferensi atau ideologi dikonstruksi?
Sosiolog dan filsuf kenamaan Jurgen Habermas di dalam karyanya "Knowledge and Human Interest" (1971) membuka kedok oragansi klaim objektivitas ilmu-ilmu alam dan sosial. Tidak ada teori yang bebas nilai atau kepentingan. Penelitian semata untuk pengembang ilmu tersebut tetap merupakan sebuah kepentingan, bernilai. Jadi, tidak ada ilmu yang bebas kepentingan.
Semua teori selalu bias kepentingan. Hasil penelitian atau pengetahuan selalu merupakan kolaborasi kreatif antara 'frame' subjek yang sudah selalu berkepentingan dan objek yang juga tidak telanjang lagi. Dengan kata lain, tidak ada satu penelitian pun yang objektif.
Masih terdapat sederet pemikir yang membantah klaim objektivitas atau netralitas kajian-kajian ilmiah. Salah satu yang menarik untuk dipaparkan di sini adalah Karl R. Popper. Ilmuwan Karl Popper di dalam bukunya "The Logic of Scientific Discovery" (1968) mencatat bahwa tidak ada penelitian yang objektif. Kajian yang realistis adalah intersubjektif. Kebenaran hipotetis sebuah pengetahuan tidak disimpulkan hanya berdasarkan kecocokan antara subjek peneliti dan objek eksternal, tetapi melalui falsifikasi dengan peneliti dan sumber lain. Apa sajakah sumber lain?
Orang-orang kecil
Semua penelitian sudah bias kepentingan pada awal pemilihan metode, proses pemilihan data juga eklektis, dan kesimpulan juga adalah konsensus ilmuwan. Proses penelitian hingga hasilnya tidak lebih dari sebuah inkorporasi eklektis. Dinamika seperti ini tidak salah karena justru menunjukkan kerendahan hati ilmiah. Seorang ilmuan tahu kalau rasio antara pengetahuan manusia dan kenyataan adalah satu berbanding tak terbatas. Kenyataan selalu lebih luas dari jangkauan nalar kita. Maka, setiap temuan ilmiah hanyalah trajektori.
Menyadari keterbatasan kajian ilmiah yang selalu bias, sumber pertama dan utama yang harus diajak berdiskusi adalah yang langsung terkena dampak dari kajian tersebut. Di antara mereka yang mengalami dampak langsung, orang-orang kecil atau "the least-adavanged" (meminjam kata-kata Rawls, 1971) seharusnya menjadi sasaran utama karena mereka paling rentan mengalami penderitaan dan ketidakadilan.
Orang-orang kecil di dalam konteks 'tarik-menarik' kasus tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok adalah masyarakat di situs pertambangan dan pabrik semen tersebut. Situasi riil orang-orang ini harus diamati, didengarkan, dan pertimbangkan manfaat atau kerugian proyek tersebut terhadap mereka dari aneka sudut: kultural, ekonomi, sosial, dan ekologis.
Dengan demikian, logika hitungannya tidak berawal dari keuntungan yang diperoleh proyek tambang dan pabrik semen tersebut terhadap kemaslahatan provinsi apalagi nasional. Hitungannya tidak dimulai dari masyarakat Manggarai Timur, Pulau Flores, Provinsi NTT, dan Bangsa Indonesia. Titik awal kalkulasi keuntungan harus dimulai dari orang-orang kecil, penduduk asli Luwuk dan Lingko Lolok. Tanah bukan benda mati untuk mereka, melainkan sumber kehidupan. Mengambil tanah mereka tanpa persetujuan mereka adalah merampas hak hidup mereka. Pelanggaran HAM sedang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H