Orang-orang kecil
Semua penelitian sudah bias kepentingan pada awal pemilihan metode, proses pemilihan data juga eklektis, dan kesimpulan juga adalah konsensus ilmuwan. Proses penelitian hingga hasilnya tidak lebih dari sebuah inkorporasi eklektis. Dinamika seperti ini tidak salah karena justru menunjukkan kerendahan hati ilmiah. Seorang ilmuan tahu kalau rasio antara pengetahuan manusia dan kenyataan adalah satu berbanding tak terbatas. Kenyataan selalu lebih luas dari jangkauan nalar kita. Maka, setiap temuan ilmiah hanyalah trajektori.
Menyadari keterbatasan kajian ilmiah yang selalu bias, sumber pertama dan utama yang harus diajak berdiskusi adalah yang langsung terkena dampak dari kajian tersebut. Di antara mereka yang mengalami dampak langsung, orang-orang kecil atau "the least-adavanged" (meminjam kata-kata Rawls, 1971) seharusnya menjadi sasaran utama karena mereka paling rentan mengalami penderitaan dan ketidakadilan.
Orang-orang kecil di dalam konteks 'tarik-menarik' kasus tambang dan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok adalah masyarakat di situs pertambangan dan pabrik semen tersebut. Situasi riil orang-orang ini harus diamati, didengarkan, dan pertimbangkan manfaat atau kerugian proyek tersebut terhadap mereka dari aneka sudut: kultural, ekonomi, sosial, dan ekologis.
Dengan demikian, logika hitungannya tidak berawal dari keuntungan yang diperoleh proyek tambang dan pabrik semen tersebut terhadap kemaslahatan provinsi apalagi nasional. Hitungannya tidak dimulai dari masyarakat Manggarai Timur, Pulau Flores, Provinsi NTT, dan Bangsa Indonesia. Titik awal kalkulasi keuntungan harus dimulai dari orang-orang kecil, penduduk asli Luwuk dan Lingko Lolok. Tanah bukan benda mati untuk mereka, melainkan sumber kehidupan. Mengambil tanah mereka tanpa persetujuan mereka adalah merampas hak hidup mereka. Pelanggaran HAM sedang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H