Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Toleransi Membunuh Demokrasi

5 Desember 2019   11:48 Diperbarui: 5 Desember 2019   12:00 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aneka wacana di dalam realisme politik hari-hari ini mencengangkan. FPI, Ormas yang memenuhi lembaran "track-record"-nya dengan rentetan kekerasan (CNN, 18/08/2017), hendak diperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) untuk memperoleh lisensi berserikat.

Menag, yang menurut Pemendagri Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan, berwenang untuk memberikan rekomendasi agar izin organisasi ini diperpanjang dengan bangga mendeklarasikan diri sebagai pihak pertama yang mendukung SKT FPI. Argumentasi Menag adalah "Kalau semua komponen bangsa ingin maju sama-sama, memajukan bangsa, kenapa sih? Ada hal-hal ang masih kita ragukan, kita coba "deal" dengan dia" (CNN, 28/11/2019). Logika Menag ini patut ditelaah.

"The political" demokrasi

Politik adalah "the art of possible" (Gooding, 1993). Sebagai seni, tidak ada barometer tunggal dalam mematok kiblat politik. Politik mengandung polisemi infinitif. Ada beda antara "the politics" dan "the political". "The political" mengindikasikan dimensi ontologis masyarakat, sedangkan "the politics" mengacu pada dimensi ontis masyarakat seperti praktek-praktek konvensional politik (Marchart, 2007).

Praktek konvensional mudah ditengarai di dalam kehidupan harian dan pemberitaan media sosial. Namun, dimensi ontologis "the political" selalu lari dari bidikan konsepsional pengamat. "The political" bak sumur tak berdasar. Fondasi paradigma politik adalah "unfondational". Ketiadaan fondasi ini memustahilkan kepastian diagnosis dan prediksi teori-teori politik.

Nabi politik Karl Marx pernah menbuatkan bahwa sistem kapitalisme akan tergantikan secara otomatis dan revolusioner oleh komunisme, kaum proletar menggusur status quo para kapitalis di puncak kekuasaan, karena takdir roda sejarah. Hingga hari ini nubuat Marx tidak terpenuhi bahkan semakin menunjukkan kenyataan sebaliknya.

Tentu saja para Marxian bisa beralasan dengan "cognitive bias" yang terdiri dari "backfire effect" and the "Dunning--Kruger eff" (McYntire, 2018). Namun mereka hanya berusaha menyembunyikan atau menutup mata terhadap data sejarah. Roda kemajuan dunia justru digerakkan oleh sistem kapitalisme (Harari, 2014). Revolusi Industri 4.0 yang tengah mendisrupsi tatanan global adalah produk kapitalisme (Bdk. Klaus Schwab, 2016).

Demokrasi merupakan komponen "the political" sekaligus "the poltics". Praksis harian demokrasi seperti terejawantah di dalam PEMILU adalah sisi konvensional-teknikal demokrasi. Esensi demokrasi adalah "the political" sehingga tidak memiliki "frame" eksklusif untuk mengklaim kebenaran definitif. Tidak ada satu idealitas pun yang mendaku privilese "standard of excellence" dari "the political" demokrasi. Karena itu, sejarah mengindikasikan kepada kita, pregnosis eksak politik demokrasi yang mengadopsi metodologi sains selalu meleset.

Francis Fukuyama harus menahan malu karena klaim ramalannya bahwa demokrasi liberal akan menjadi asas dan corak politik tunggal abad XXI melenceng jauh (2014). Kebangkitan Cina secara cepat membelalakan mata para teoritisi politik bahwa negara-negara dengan sistem intervensionis juga menawarkan kemaslahatan ekonomi. Karena itu, Eric X Li menolak mentah nubuat Fukuyama (2013).

Fukuyama kelihatan mengadopsi paradigma sains yang eksak, tetapi menafikan tesis dasar para fisikawan bahwa sains selalu berujung pada probabilitas (Coles, 2000). Kalau sains hanya "probable", apalagi kajian humaniora seperti politik demokrasi.

Toleransi membunuh demokrasi

Argumentasi Menag di atas mengandung kurang lebih dua asumsi dasar. Pertama, terminologi kemajuan sarat kandungan makna ekonomis. Dengan kata lain, atas nama kemajuan bangsa secara ekonomis, SKT FPI harus diperpanjang. Kedua, FPI termasuk di dalam kategori anak-anak bangsa. Karena itu, bila ada perbedaan, cukup kita "deal" dengan mereka. Jadi, demokrasi kita tidak lebih dari "deal" enteng-entengan. Argumentasi semacam ini terkonstruksi di atas asas toleransi keberagaman. 

Tidak begitu sulit untuk menemukan cacat celah pernyataan Menag. Pertama, memang benar sebagaimana dikatakan Paul Ricoeur bahwa politik pertama-tama harus didefinisikan di dalam interseksi dengan ekonomi (1991). Namun, jejaring demokrasi tidak ditentukan semata oleh kemajuan finansial. Karena itu, tidak ada barter antara ekonomi dan demokrasi. Estabilitas ekonomi hanyalah salah satu komponen demokrasi. Kalau kesejahteraan ekonomi yang menjadi takaran, bukankah RRC juga termasuk negara demokrasi?

Kedua, orientasi sosio-politik era postmodern bukan lagi kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, melainkan kebebasan, keragaman, dan toleransi (Danujaya, 2012). Kebebasan demokratik postmodern memang merupakan posibilitas tak terbatas, tetapi juga adalah keterbukaan bertrajektori. Trajektori tidak mendatangkan kebuntuan pertualangan politik, tetapi sebaliknya mengoridori arena tanding politik. Mega proyek demokrasi pluralistik radikal Cantal Mouffe dan Ernesto Laclau (1985) tetap saja mengandung trajektori.

Mereduksi idealitas demokrasi pada toleransi adalah pengkerdilan demokrasi. Demokrasi terkebiri bila dipersempit dengan toleransi. Demokrasi mengalami kepincangan ketika asas lain ditumbalkan atas nama toleransi. Jangan berpura-pura lugu, kaum ekstrimis justru menggolkan agendanya melalui slogan toleransi. Kaum 'radikal' bergerilya dengan kendaraan demokrasi. Toleransi terhadap intoleransi justru akan mengakhiri kiprah demokrasi. Toleransi membunuh demokrasi.

Psikologi massa dan otonomisasi aksi

Kenyataan sosial adalah juga teks. Sebagaimana teks dapat mengalami otonomisasi dari pengarang dan konteksnya, aksi massal lapangan juga bergerak lepas dari rancangan tertulis. Visi kelompok tidak otomatis menjadi aksi kolektif. Organisasi dapat dibentuk dengan komitmen tertulis, tetapi tidak otomatis praksis lapangan mengimitasi secara literer.

FPI di atas kertas menyatakan kesetiaan terhadap NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Namun belum tentu tarikan aplikatifnya mengalir lurus. Psikologi massa (Pruitt dan Rubin, 1986) menunjukkan aksi lapangan selalu liar, "out of control", karena keberadaan faktor X. Di dalam aksi massal, individu kehilangan keakuannya. Dengan demikian, ia tidak merasa bertanggung jawab terhadap tindakannya dan bebas berbuat apa saja.

Kekerasan adalah komunikasi bisu "par excellence". FPI menggoreskan luka kolektif di dalam memori sosial warga Indonesia dengan banyak tindak kekerasan (Bdk. Haryatmoko, 2014). Kita tidak lupa sekuensi tindakan keji persekusi FPI terhadap banyak anak bangsa. FPI mengklaim diri sebagai polisi bangsa yang berhak menertibkan masyarakat. FPI bertindak sebagai hakim legal atas warga lain. Dengan apakah ingatan sosial dan trauma kolektif dapat disembuhkan? Ingatan sosial akan selalu menagih bila tidak dibereskan. Negara seharusnya memikirkan cara untuk menyembuhkan luka kolektif bangsa yang mendekap di dalam ingatan sosial, bukan 'menjual diri' dengan murah ke FPI.

FPI dengan demikian menggantikan secara paksa kewenangan beberapa lembaga negara ini. Kalau demikian, apakah ormas semacam ini masih layak berdiri di negeri ini? Mengapa Pemerintah masih mau bertransaksi dengan ormas ekstrimis ini? Mengapa kepentingan ribuan warga Indonesia yang berhak mendapat ketenganan hidup diusik lagi dengan kemungkinan perpanjangan SKT FPI? Negara ini tidak bubar tanpa FPI.

Demokrasi Indonesia bukan transaksi enteng-entengan. Demokrasi Indonesia diraih dengan darah dan nyawa. Menganggap enteng demokrasi Indonesia adalah sebentuk penghinaan terhadap ribuan nyawa anak bangsa yang memperjuangkan idealitas demokrasi dengan darah dan nyawa mereka. Kapabilitas Fachrul Razi sebagai seorang Menag seharusnya dipertanyakan. Seorang Menag 'kok' mudah luluh di hadapan para pengganggu ketertiban umum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun