Mohon tunggu...
The Sky and the Moon
The Sky and the Moon Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penulis yang kebetulan adalah mahasiswa. Menulis adalah ruang kreatif yang memberi saya kebebasan pada apa yang saya pikirkan, rasakan, dan saya amati. Hobi mendengarkan musik pop.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita yang Hidup dengan Bara Api

29 Agustus 2024   16:24 Diperbarui: 2 September 2024   14:51 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja datang ketika wanita itu pulang. Ia baru saja tiba di halaman rumahnya saat matahari melambaikan tangannya. Ia masuk ke dalam rumah dan berlalu tanpa suara. Diusapnya wajahnya yang sehalus sutra tanpa cela itu perlahan. Sungguh cantik, siapapun tidak akan berbohong bahwa wajahnya sangat menarik. Matanya yang indah, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang terlihat semanis buah ceri. Namun, entah kenapa ada yang berbeda dari wajahnya, entah apa yang hilang. Binar matanya? Senyum tulusnya? Kerutan bahagianya? Entahlah, ia sudah lama tidak berurusan dengan hal itu.

Orang-orang memanggilnya Mawar, setiap tetangganya selalu menyapanya begitu. Ia sampai lupa nama aslinya dan membiarkan nama asing itu menjadi namanya. Mawar, sama seperti dirinya; indah, tapi penuh duri sehingga terlalu berbahaya untuk disentuh. Ya, ia seperti itu. Dia memang orang yang seperti itu.

Ketika orang-orang bertemu dengannya, mereka hanya tersenyum sekilas, sekedar basa-basi, yang ditanggapinya dengan basi, alias ia tak peduli. Senyumnya tak sampai ke mata, ujung bibirnya bahkan tak pernah mengecup pipinya. Anak kecil apalagi, tak berani hanya sekedar menatapnya. Mungkin mereka pikir ia adalah monster berwujud manusia. Monster yang menyamar dengan tubuh manusia, tetapi matanya, mereka tak bisa berbohong.

Ia, Mawar, tidak peduli. Ia tak peduli semua itu. Bohong.

Ada satu hal yang orang-orang tidak tahu, sebuah rahasia yang hanya ia dan Tuhannya saja yang tahu, yakni bahwa ia memakan bara api. Terdengar konyol, bahkan tak masuk akal memang, tetapi begitulah kenyataannya. Setiap hari ia memakan bara api-bara api itu agar tetap hidup, baik hidup sebagai monster maupun hidup sebagai manusia. Sudah seperti bahan bakar.

Ia menatap siluet dirinya di cermin. Matanya menajam, seolah ada bara api keluar dari sana. Seolah cahaya dari bola matanya dapat meremukkan cermin di depannya, yang memantulkan dirinya sendiri.

"Terkutuklah kau!"

"Enyah kau!"

"Kau tak pantas ada di sini!"

"Dasar pecundang!"

Matanya yang tajam memelan,

"Malangnya kau"

"Lihatlah dirimu...tak ada yang peduli denganmu Mawar...tak ada, satupun"

"Kau harus berdiri di kakimu sendiri, betapa menyedihkannya dirimu"

"Lihat kemari Mawar, lihatlah dirimu, jiwamu yang kepayahan itu"

Ia memejamkan mata, tak ingin, tak ingin lagi mendengarkan gema dalam kepalanya, yang merangsek terus-menerus.

Matanya yang telah kehilangan kerlipnya itu menajam, binarnya telah hilang dan ia padamkan sejak lama. Ia bahkan lupa caranya melihat dengan kasih sayang. Ia tak pernah diajarkan, atau...ia tak punya waktu untuk hal-hal sepele seperti itu? Ia terlalu sibuk. Ia hanya terlalu sibuk di masa kecilnya, sehingga ia tak punya waktu.

Sejak kecil, ia telah terbiasa memakan bara api. Ibunya mungkin tahu, tetapi dibiarkan saja anak itu, ibunya punya hal yang lebih penting untuk dikerjakan ketimbang menghentikannya memakan bara api dengan mulutnya yang kecil itu. Setiap hari, saat bangun tidur, ia memakan sepotong bara api. Semakin besar dan dewasa, bara api itu semakin banyak porsinya, bahkan membuat perutnya kekenyangan. Ingin rasanya ia memuntahkan bara api yang telah ditelannya, tetapi jangan, ia bisa mati jika melakukannya. Selama ini ia dapat bertahan hidup hanya karena bara api itu. Biarlah bongkahan itu membakar dirinya, asalkan ia bisa tetap hidup.

Mawar membuka matanya. Tak ada yang perlu diingatnya akan masa kecilnya, karena sejak kecil ia hanya sibuk memakan bara api menggunakan tangannya sendiri. Hingga dewasa, semakin banyak orang yang memberinya bara api, ia tidak tahu harus senang atau berterima kasih, tapi ia tetap memakannya. Membiarkan dirinya terbakar sendirian. Semakin dewasa, ia semakin sadar, bahwa ia bukanlah apa-apa tanpa bara apinya. Bahwa ia mungkin saja telah mati jikalau tak menenggak panasnya bara. Bahwa ia tak punya apa-apa selain bara apinya, bahkan orang di sekitarnya; tidak sama sekali.

Saat ia teringat akan masa kecilnya, ia menjadi lapar kembali, jiwanya membutuhkan sesuatu yang dapat membakarnya. Ia butuh bara api. Gadis itu duduk dan kembali menelan bara apinya bulat-bulat. Ketika ia hampir menyerah, ia menjejalkan bara api itu ke dalam tubuhnya, agar ia merasa hidup. Serta menahannya, membiarkan bara api itu meledak dalam tubuhnya, supaya bara api itu tak membakar sekelilingnya. Ia tersenyum, memasukkan sepotong lagi bara api ke dalam mulutnya, sehingga ia bisa merasakan "hidup".

Oleh: The Sky and the Moon

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun