"Malangnya kau"
"Lihatlah dirimu...tak ada yang peduli denganmu Mawar...tak ada, satupun"
"Kau harus berdiri di kakimu sendiri, betapa menyedihkannya dirimu"
"Lihat kemari Mawar, lihatlah dirimu, jiwamu yang kepayahan itu"
Ia memejamkan mata, tak ingin, tak ingin lagi mendengarkan gema dalam kepalanya, yang merangsek terus-menerus.
Matanya yang telah kehilangan kerlipnya itu menajam, binarnya telah hilang dan ia padamkan sejak lama. Ia bahkan lupa caranya melihat dengan kasih sayang. Ia tak pernah diajarkan, atau...ia tak punya waktu untuk hal-hal sepele seperti itu? Ia terlalu sibuk. Ia hanya terlalu sibuk di masa kecilnya, sehingga ia tak punya waktu.
Sejak kecil, ia telah terbiasa memakan bara api. Ibunya mungkin tahu, tetapi dibiarkan saja anak itu, ibunya punya hal yang lebih penting untuk dikerjakan ketimbang menghentikannya memakan bara api dengan mulutnya yang kecil itu. Setiap hari, saat bangun tidur, ia memakan sepotong bara api. Semakin besar dan dewasa, bara api itu semakin banyak porsinya, bahkan membuat perutnya kekenyangan. Ingin rasanya ia memuntahkan bara api yang telah ditelannya, tetapi jangan, ia bisa mati jika melakukannya. Selama ini ia dapat bertahan hidup hanya karena bara api itu. Biarlah bongkahan itu membakar dirinya, asalkan ia bisa tetap hidup.
Mawar membuka matanya. Tak ada yang perlu diingatnya akan masa kecilnya, karena sejak kecil ia hanya sibuk memakan bara api menggunakan tangannya sendiri. Hingga dewasa, semakin banyak orang yang memberinya bara api, ia tidak tahu harus senang atau berterima kasih, tapi ia tetap memakannya. Membiarkan dirinya terbakar sendirian. Semakin dewasa, ia semakin sadar, bahwa ia bukanlah apa-apa tanpa bara apinya. Bahwa ia mungkin saja telah mati jikalau tak menenggak panasnya bara. Bahwa ia tak punya apa-apa selain bara apinya, bahkan orang di sekitarnya; tidak sama sekali.
Saat ia teringat akan masa kecilnya, ia menjadi lapar kembali, jiwanya membutuhkan sesuatu yang dapat membakarnya. Ia butuh bara api. Gadis itu duduk dan kembali menelan bara apinya bulat-bulat. Ketika ia hampir menyerah, ia menjejalkan bara api itu ke dalam tubuhnya, agar ia merasa hidup. Serta menahannya, membiarkan bara api itu meledak dalam tubuhnya, supaya bara api itu tak membakar sekelilingnya. Ia tersenyum, memasukkan sepotong lagi bara api ke dalam mulutnya, sehingga ia bisa merasakan "hidup".
Oleh: The Sky and the Moon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H