Senja datang ketika wanita itu pulang. Ia baru saja tiba di halaman rumahnya saat matahari melambaikan tangannya. Ia masuk ke dalam rumah dan berlalu tanpa suara. Diusapnya wajahnya yang sehalus sutra tanpa cela itu perlahan. Sungguh cantik, siapapun tidak akan berbohong bahwa wajahnya sangat menarik. Matanya yang indah, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang terlihat semanis buah ceri. Namun, entah kenapa ada yang berbeda dari wajahnya, entah apa yang hilang. Binar matanya? Senyum tulusnya? Kerutan bahagianya? Entahlah, ia sudah lama tidak berurusan dengan hal itu.
Orang-orang memanggilnya Mawar, setiap tetangganya selalu menyapanya begitu. Ia sampai lupa nama aslinya dan membiarkan nama asing itu menjadi namanya. Mawar, sama seperti dirinya; indah, tapi penuh duri sehingga terlalu berbahaya untuk disentuh. Ya, ia seperti itu. Dia memang orang yang seperti itu.
Ketika orang-orang bertemu dengannya, mereka hanya tersenyum sekilas, sekedar basa-basi, yang ditanggapinya dengan basi, alias ia tak peduli. Senyumnya tak sampai ke mata, ujung bibirnya bahkan tak pernah mengecup pipinya. Anak kecil apalagi, tak berani hanya sekedar menatapnya. Mungkin mereka pikir ia adalah monster berwujud manusia. Monster yang menyamar dengan tubuh manusia, tetapi matanya, mereka tak bisa berbohong.
Ia, Mawar, tidak peduli. Ia tak peduli semua itu. Bohong.
Ada satu hal yang orang-orang tidak tahu, sebuah rahasia yang hanya ia dan Tuhannya saja yang tahu, yakni bahwa ia memakan bara api. Terdengar konyol, bahkan tak masuk akal memang, tetapi begitulah kenyataannya. Setiap hari ia memakan bara api-bara api itu agar tetap hidup, baik hidup sebagai monster maupun hidup sebagai manusia. Sudah seperti bahan bakar.
Ia menatap siluet dirinya di cermin. Matanya menajam, seolah ada bara api keluar dari sana. Seolah cahaya dari bola matanya dapat meremukkan cermin di depannya, yang memantulkan dirinya sendiri.
"Terkutuklah kau!"
"Enyah kau!"
"Kau tak pantas ada di sini!"
"Dasar pecundang!"
Matanya yang tajam memelan,