Ada sebuah kota yang terkenal dengan penduduknya yang tidak pernah menangis. Orang dewasa di kota ini tidak pernah menangis, hanya bayi yang baru lahir yang menangis, beranjak dewasa, mereka akan semakin jarang menangis hingga suara tangisan mereka mungkin tidak akan dikenali lagi karena tidak pernah menangis selama sisa hidup mereka. Namanya adalah Kota Tawa.
Kehidupan di Kota Tawa bisa dibilang sangat damai dan minim polusi suara. Orang yang lewat melakukan aktivitasnya dengan tenang dan santai sehingga tidak menimbulkan terlalu banyak suara yang mengganggu kenyamanan sekitar. Kota Tawa bahkan telah dinobatkan sebagai kota paling damai dan nyaman.
Namun, pada suatu pagi di hari Minggu yang cerah, ketika penduduk Kota Tawa melakukan aktivitas seperti biasanya, bersepeda, berlari, duduk-duduk santai di Teras rumah; seorang pria datang dari perbatasan Kota Tawa, dari penampilannya ia seperti orang gila atau tidak waras. Berpakaian compang-camping, kulitnya coklat berkilat akibat terlalu banyak dibakar matahari. Ia datang sendirian dengan sebuah kaos yang tersampir di bahunya yang kurus. Menyusuri jalanan di kompleks perumahan Kota Tawa sambil menangis dengan keras, seketika mengambil atensi para penduduk yang sedang beraktivitas dengan tenang.
"Aku tidak perduli dengan uang! Tanpa uang aku bisa hidup bebas! Aku bebas" Pria itu berseru di atas aspal yang mulai panas karena matahari semakin naik posisinya. Ia tidak menghentikan jalannya dan terus berteriak dengan keras.
"Aku tidak butuh keluarga! Lihat, aku hidup bebas tanpa beban!"
"Lihatlah kalian, masih harus bekerja mati-matian agar kaya. Aku tidak perlu bekerja untuk menjadi kaya!"
Penduduk Kota Tawa memandang dari kejauhan, mulai berbisik satu sama lain akan pria itu.
Pria kurus itu kini berteduh di bawah pohon rindang yang memang sengaja ditanam oleh Pemerintah Kota Tawa di Taman. Menyandarkan tubuhnya sembari menggumamkan kata "Lapar".
"Lapar...aku lapar...!" gumamnya. Seorang anak anak perempuan berkepang dua mendekati pria itu dan memberikannya sepotong roti.
"Ini, untukmu. Kau sedang lapar bukan?" ujar gadis kecil itu. Pria gila tadi mengangguk dan mengambil sepotong roti yang disodorkan kepadanya, memakannya dengan rakus seperti orang yang benar-benar kelaparan.
"Terima kasih." Ucapnya lemah, tenaganya belum pulih benar akibat menangis dan mengumpat di sekeliling kota. Anak gadis tadi terpaku, menggumamkan kata yang baru saja diucapkan pria  di depannya, seperti...ia baru pertama kali mendengar kata tersebut. Gadis kecil itu berlari menuju sepedanya yang tergeletak di tanah dan memacunya pulang sembari meneriakkan kata "Terima kasih!" dengan wajah ceria dan senyum cerah. Penduduk Kota Tawa kembali berbisik melihat kejadian tersebut. Mereka memutuskan untuk mendekati si pria gila.
"Dari mana asalmu?" Tanya Penduduk Kota Tawa.
"Aku berasal dari surga"
"Hei, jawab yang benar, kenapa kau masuk ke kota kami?"
"Aku ke sini untuk menangis. Sekarang biarkan aku tidur sehingga besok pagi aku bisa kembali menangisi kalian!" Tandasnya. Dengkuran halus pria itu mengakhiri percakapannya dengan penduduk Kota Tawa. Melihat respon tidak jelas dari si pria kurus tadi, mereka akhirnya memutuskan untuk merawatnya karena merasa iba.
Sejak saat itu, setiap hari penduduk Kota Tawa bergantian memberi makan pria gila yang kemudian mereka namai Tangis (karena sering menangis). Memberinya makanan setiap pagi dan sore, terkadang memberikan beberapa camilan juga saat malam tiba. Mereka akan berbincang, atau lebih tepatnya mereka akan berbicara dan Tangis akan mendengarkan dengan tenang sembari menyantap camilannya. Tangis kini dibuatkan rumah di bawah pohon rindang di pinggir taman itu, supaya ia tidak kehujanan, tetap aman, dan merasa nyaman ketika harus menangis sendirian. Begitu terus hingga berminggu-minggu lamanya.
Hingga pada satu hari, Tangis tidak ditemukan di rumahnya di bawah pohon rindang itu. Penduduk Kota Tawa yang cemas akhirnya mencari-cari di seluruh kota, memanggil-manggil namanya dengan lantang dan penuh harap, agar pria gila yang telah menjadi kesayangan penduduk Kota Tawa itu mau menjawab.
Namun, sia-sia, Tangis seperti hilang tanpa jejak. Penduduk Kota Tawa berbondong-bondong datang ke rumah Tangis, bersimpuh, dan suara yang asing itu terdengar. Suara yang dikeluarkan Tangis setiap harinya sembari menyumpahi kehidupan. Suara tangis. Penduduk Kota Tawa menangis! Kota dipenuhi kemuraman dan dering tangisan yang menggema di tengah kota memekakkan telinga. Mereka menangis. Keras. Setelah sekian lama.
Sebenarnya, Tangis tidak pernah meninggalkan kota, ia hanya bersembunyi atau terkunci pada dalamnya hati manusia. Ia tak pernah meninggalkan kita, hanya mungkin, kita tak pernah memberi ruang untuknya sehingga ia berkeliaran entah kemana. Ketika tangis hilang, maka yang dapat kita lakukan hanyalah menangis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H