"Bapak, Ibu, kapan kita jadi kaya?" tanya seorang anak berusia 5 tahun bernama Pangeran. Ia tinggal bersama kedua orangtuanya di bawah jembatan, dan dengan pekerjaan keduanya sebagai pemulung untuk kehidupan sehari-hari.
 Bapak dan Ibu yang mendengarnya membelakakan kedua matanya, "Heh, diajarin siapa kamu ngomong begitu?"Â
Pangeran menggeleng. "Kamu menganggap diri kamu sendiri miskin, Pangeran?" tanya Bapak. Pangeran menggeleng lagi. "Lalu?"
"Aku cuma pengen ngerasain punya rumah, Pak, Buk. Aku lihat orang-orang di luar sana punya rumah yang besar-besar, punya warung, bisa makan enak, punya mobil, tapi kita gak punya semuanya." jelas Pangeran pada kedua orang tuanya.Â
Bapak tertawa hangat, membawa Pangeran dalam dekapannya. "Kita gak butuh semuanya itu, Pangeran.." ucap Bapak sambil mengelus punggung Pangeran.Â
"Kamu tahu gak, banyak rumah yang di dalamnya tidak ada rumah, sekedar penampakannya saja." Bapak memberikan pernyataan itu pada anak usia 5 tahun ini.
"Maksudnya perabotannya ya Pak?" tanya Pangeran. Bapak menggeleng,Â
"Meskipun rumah fisik adalah tempat tinggal, rumah dalam konteks keluarga adalah kasih sayang, dan dukungan yang ada di antara anggota keluarga. Jadi, rumah bisa berarti juga ikatan yang menghubungkan beberapa orang di dalamnya atau bisa juga orang yang dicintai seperti Ibu dan Pangeran."Â
Pangeran yang mendengarpun mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi rumah itu bukan cuma bangunannya begitu ya Pak?" Bapak serta Ibu tersenyum.Â
Ada rumah di dalam rumah, namun ada rumah yang tidak memiliki rumah.
(Mencerminkan kehidupan, identitas dan dinamika)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H