Mohon tunggu...
Fatmavati
Fatmavati Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Ada Adanya

Penikmat dunia fantasi, film kartun, dan bakso Https://www.Travrilia.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Omelan Ibu, Saya Belajar 5 Pelajaran Hidup

6 Desember 2020   23:00 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:37 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Sekolah Pertamaku. Foto : Freepik.com 

Sejujurnya saya kurang memiliki banyak kenangan mengenai sosok ibu. Semasa kecil, ibu hanya pendiam dan tidak banyak komunikasi yang diberikan kepada anaknya. Lebih dominan ayah yang memberi didikan kepada kami. Untuk pilihan sekolah, ayah yang menentukan masa depan kami. Mungkin karena pendidikan ibu yang bahkan tidak lulus sekolah dasar bahkan membaca pun kadang masih tidak lancar.


Bukan berarti ibu tidak punya andil apapun kepada kami anak-anaknya. Semenjak ayah mulai sakit-sakitan kala saya di bangku SMP, ibu yang bekerja keras menghidupi kami sekeluarga. Sebagai pedagang ikan di pasar yang penghasilannya tidak banyak, alhamdulillah ibu bisa mengantarkan keempat anaknya tuntas sekolah dan kami hidup berkecukupan. Bahkan saya bisa mendapatkan gelar sarjana.


Lima tahun saya pergi merantau, kini saya kembali ke pangkuan ibu dan menemani beliau semenjak ayah sudah tiada. Ibu menunjukkan taringnya dengan omelan-omelan yang dilontarkan setiap hari sepeninggal ayah. Awal-awal saya merasa jengkel dengan sikap ibu yang banyak ngomel karena masa kecil dulu tidak terlalu ngomelnya. Namun yang saya sadari di balik omelannya, banyak dasar-dasar kehidupan yang saya peroleh dari ibu. Bergelar sarjana bukan berarti saya menganggap remeh ibu yang tidak sekolah, malahan ibu sekolah pertamaku. Pengalaman hidup beliau juga memberikan pelajaran bagi kehidupan saya.


Dari omelan beliau, sebenarnya ibu tidak ingin anak perempuan satu-satunya dan si bungsu ini menjadi sosok yang mengecewakan jika suatu hari menjadi menantu orang lain. Beliau sungguh-sungguh menyiapkan aku menjadi perempuan yang berguna.

1. Tidak mengeluh


"Dulu waktu kamu bayi, ibu yang nyuci semua pakaian kotor dan bersihin popokmu!"


Pekerjaan mencuci pakaian di rumah adalah tugas saya. Dari pakaian saya,  pakaian ibu dan kadang juga punya kakak.  Beberapa kali saya merasa jengkel  jika sudah setengah proses mencuci pakaian, ibu seenaknya saja menambahkan pakaiannya kepada saya. Inginnya saya semua pakaian sudah terkumpul dalam larutan sabun sebelum dicuci, makanya saya ngomel-ngomel kalau ada tambahan karena bakal nyuci dua kali.


Namun mendapati semprotan sekali dari ibu begitu, saya langsung terdiam. Saya bisa membayangkan, dulu saat saya masih kecil pasti kelakuannya sungguh menyusahkan sampai - sampai menambahi pekerjaan rumah tangga. Apa yang saya lakukan dewasa ini tidak seberapa banyak dengan kelakuan yang diterima ibu dari saya yang sungguh merepotkan sebagai anak. Saya langsung menyesali perbuatan saya yang ngedumel mendapat pekerjaan rumah padahal cuma satu tambahnya pakaian yang ibu berikan ke tumpukan cucian. Sejak saat itu saya tidak mengeluh. Seberat apapun pekerjaan rumah ataupun pekerjaan kerja, masih berat pekerjaan yang ibu lakukan.


2. Jadi pribadi yang  pekerja keras


"Kamu kalau capek, sana istirahat."


Setelah saya duduk sekian lama cuma ndengerin ibu hanya bicara lalu mengakhiri dengan kalimat tersebut, ibu tahu kalau anaknya capek kerja padahal aku hanya diam. Sepulang kerja sebenarnya saya duduk di samping beliau ingin mencurahkan lelahnya kerjaan tapi nyatanya cuma bisa diam dan hanya ibu yang bercerita.


Kenapa ibu yang bisa memahami perasaan anaknya sedangkan saya sendiri tidak. Sebagai anaknya, saya tak pernah sekalipun merasa iba akan perjuangan ibu yang banting tulang. Barulah saya rasakan saat pertama kali jadi pegawai. Lelahnya luar biasa. Kerja tidak dihargai bos, banyak lemburan tanpa gaji tambahan, kerja senin sampai sabtu sungguh capek. Hari merah pun dipaksa masuk. Cuma hari Minggu hari libur saya, itu pun tidak cukup untuk mengistirahatkan badan.


Ibu yang bukan pegawai hanya pedagang kecil yang tidak punya jadwal libur. Beliau kerja setiap hari. Tidak ada hari libur, kecuali sakit, acara keluarga, atau lebaran. Setelah saya ingat-ingat, tak pernah sekalipun ibu bercerita lelahnya bekerja. Padahal ibu menjalani pekerjaannya bertahun-tahun. Sementara saya baru kerja belum setengah tahun ingin menyerah. Bukankah ibu bekerja keras lebih keras daripada yang saya kerjakan?
Dari ibu, saya belajar bahwa hidup memang keras makanya harus kerja keras. Saya ingin jadi pekerja keras seperti ibu dan ikhlas menjalaninya.


3. Hiduplah yang sederhana


"Makan tuh seadanya. Emangnya temanmu tuh makan apa?"


"Ini loh ada lauk kok mau beli lain?"


Terkadang saya merasa bosan dengan menu masakan yang dihidangkan ibu di meja makan dan setiap saya protes, ibu memberikan balasan yang terkadang dengan sindiran. Setiap kali ibu berkata begitu, saya pun tidak berkutik dan mau makan masakan beliau. Dari ucapan ibu mengajarkan kepada saya bahwa nanti kalau sukses jangan hanya makan yang enak-enak saja, hidup yang sederhana itu lebih baik. Lewat kesederhanaan makanan saja, saya bisa membuang rasa gengsi jika diajak makan di warung kaki lima oleh orang lain. Tidak hanya soal makanan, kesederhanaan hidup yang diajarkan ibu juga lewat pakaian yang apa adanya. Hidup tidak perlu yang berlebihan. Hal ini yang membuat saya lebih banyak bersyukur dalam penerimaan hidup.


4. Jaga kebersihan dan kerapihan


"Anak perempuan kok nggak bersihan, malu-maluin nanti di depan mertuamu!"


Padahal saya belum menikah, tapi ibu mesti sebut-sebut kata mertua. Bukan kenapa-kenapa dan tidak salah sih jika ibu ingin anaknya menjadi anak yang lebih baik di hadapan orang lain.


Masalah kebersihan dan kerapihan itu memang nomor satu bagi ibu karena beliau sosok yang menjaga keduanya. Ibu selalu mewanti-wanti kalau menyapu itu yang bersih padahal saya bersihin lantai setiap hari, rasanya masih kurang bersih. Mesti beliau tahu bagian lantai yang tidak bersih padahal saya baru saya menyapu. Memang dibandingkan saya, tangan ibu lebih ajaib, beliau lebih bersih dalam menjalani pekerjaan rumah. Pun dalam merapikan isi rumah eperti Sprei yang nampak lurus rapi hingga piring-piring yang tertata di raknya, beliau jagonya. Makanya berada di dekat ibu, saya terus belajar menjadi calon ibu rumah tangga juga.


5. Hormatilah orang lain


"Senyum, jangan cemberut begitu, dikatain kamu tadi sama teman-teman ibu."


"Sama tante kok ngomongnya gitu, nggak sopan. Ngomong kok pakai bahasa ngoko (Bahasa Jawa Kasar)."


Jujur saya anaknya cuek abis dan tidak terlalu bergaul dengan orang lain, mungkin itu yang membuat saya kurang tahu bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Sepedas-pedasnya ibu mengkritiki saya ada benarnya apa yang beliau katakan. Kalau tidak diomongin begitu, saya jadi tidak bisa memperbaiki diri dan tidak tahu cara menghormati orang lain. Mungkin kalau ibu tidak mengatakan hal tersebut sementara orang lain pun tidak berani menegur, saya pasti akan menjadi orang yang tidak sopan untuk seterusnya.


Meskipun saya sudah dewasa sejatinya masih anak kecil di hadapan ibu mesti diberikan bimbingan. Saya tidak tahu bagaimana menjalani hidup jika tidak ada ibu di sisi saya. Ibu sekolah pertamaku, beliau guru pertama saya, sosok yang pertama yang mengajarkan pelajaran hidup. 


Terima kasih, ibu. Saya tahu pasti berat dengan banyak anak yang diurus dan kini engkau sendirian menjaga kami. Tetap sehat selalu, saya sayang ibu.

Ibu Sekolah Pertamaku. Teruslah jadi guru bagiku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun