Aku tidak menduga atas apa yang menyambut kepulanganku kembali ke Kota Pacitan di akhir November 2017. Jam 5 pagi seharusnya sudah sampai depan rumah, Â aku masih tertahan di dalam kendaraan travel sekitar sejam. Gara-gara pohon besar ambruk menghalangi jalan utama di tengah hujan lebat.
Seorang penumpang bercerita ada tanggul yang jebol mengakibatkan desanya mengalami banjir. Aku tidak terlalu menanggapi, yang terpikir hanya ingin sampai rumah karena lelah. Â Kuanggap banjir itu hanya menggenangi jalanan.Â
Perjalanan kemudian bisa terlanjutkan. Â Di pusat kota, beberapa titik jalan yang rendah tergenang air. Â Pun ketika sampai rumah, selokan depan meluap mendekati tengah jalan. Sejak sehari sebelumnya curah hujan memang sangat ekstrem. Dapat kabar dari group keluarga besar bahwa sanak saudara, yang kebanyakan tinggal di seberang sungai dekatdengan jebolnya tanggul, kemasukan banjir rumahnya. Mengejutkan.
Teras penduduk sekitar tersebut kebanyakan dibangun tinggi karena berada di wilayah lebih rendah sehingga sering terkena banjir dahulu sebelum ada tanggul. Jika banjir sudah masuk berarti ketinggian air mencapai sekitar 1,5 meter. Benar-benar banjir sungguhan.
Evakuasi segera dilakukan. Kakakku membantu menyelamatkan saudara-saudara kami yang terjebak banjir. Â Tidak mudah karena keterbatasan perahu karet. Â Ada satu keluarga yang baru sampai dan mengungsi di rumahku sore itu. Namun saat itu, Â air di depan rumah naik ke tangga teratas teras, pertanda perlahan-lahan rumahku juga bakalan kemasukan air juga.
Mereka dilarikan ke tempat saudara yang tanahnya agak tinggi, bahkan tidak tersentuh banjir. Sedangkan aku sekeluarga masih bertahan di rumah. Padahal orang-orang di lingkunganku banyakyang berjalan mengungsi dengan melawan banjir setinggi pinggang orang dewasa menuju bangunan sekolah bertingkat. Aku sekeluarga rencananya mengungsi ke lantai dua rumah bude. Rumah kami berdempetan.
Sampai sore banjir di depan rumah tampak bening alias air hujan, tapi setelah magrib air berubah cokelat berasal dari air sungai. Tanggul dekat wilayahku jebol. Aliran air semakin kuat. Â Selepas Isya,air mulai masuk rumah.
Hari itu hari pertama kalinya aku merasakan banjir dalam rumah. Seumur aku hidup. Bencana alam yang biasanya tertayangkan di layar televisi, Â kini terpampang nyata di hadapan kedua mata. Banjir yang melanda akibat dampak siklus tropis cempaka merupakan yang banjir terbesar dalam sejarah Kota Pacitan.
Haruskah Menyalahkan Banjir?Â
Malam itu yang kupikirkan tentang esuk. Haduh, bakalan menjadi hari-hari yang sibuk bersih-bersih. Â Rumah bak kapal pecah dengan perkakas kecil yang porak poranda.
"Kok bisa banjir seh?"
Sunyi malam di tengah suara kucing dan kambing tetangga yang seakan menjerit. Entahlah aku malah mengeluarkan keluhan. Membayangkan tidak bisa beraktifitas normal secepatnya, Â bahkan kembali ke perantauan agak susah kareba akses. Yah, Â aku menyalahkan bencana ini.
Bude menyahut, "Masih bersyukur kita, daripada mereka yang kehilangan harta benda di dalam rumah, belum ternaknya. Kita tidak ada apa-apannya. Masih mending malam ini kita berselimut, beralas kasur, dan pakai bantal, dibandingkan yang di pengungsian hanya memakai tikar bahkan hanya sekedarnya."
Kata-kata beliau terserap kepadaku. Â Harus bersyukur. Aku mengiyakan dalam hati. Bersyukur masih punya kesempatan menyelamatkan barang-barang dan menaikkannya ketempat yang tinggi karena air masuk pelan, dibanding di wilayah lain yang mendadak kedatangan banjir bah tanpa sempat memikirkan harta benda dan bahkan hanya membawa badan.
"Seperti diberitahu Allah untuk segera membangun lantai dua ini," tambah bude. "Jadi gini ya fungsinya."
Baru selesai dibangun dua bulan sebelumnya, lantai dua rumah bude tempat kami kini mengungsi sebenarnya tempat jemuran berukuran 2x3 meter. Tidak luas tapi bisa menampung dua keluarga ini. Ucapan Alhamdulillah keluar kembali. Menghilangkan energi negatif dengan bersyukur.
Masih bersyukur di desa kuakses air dan listrik masih lancar, dibandingkan desa yang parah dekat sungai ada yang tiga hari bahkan sampai seminggu. Ratusan rumah terendam sekitar 4--5 meter ketinggian banjir. Â Sedangkan di desaku sekitar satu meter saja.
Jadi, nikmat mana yang harus kudustakan?
Kebaikan Berkat Kata-Kata Positif Bude
Bude memang sosok panutanku. Sebagai pensiunan guru, Â apa yang beliau sampaikan selalu bisa mempengaruhiku untuk berpikiran baik. Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan umatnya. Bencana ini pasti berlalu, kami pun mampu mengatasinya.
Dari rasa syukur,  kata-kata positif bude juga mempengaruhiku untuk menyebar energi baik membantu para korban. Mereka lebih membutuhkan.
Pernah seorang teman mengabari dan mengkhawatirkan aku. "Bagaimana kamu sudah?" Tanyanya. "Alamatmu mana? Aku kirimi makanan ya."
"Aku tidak apa-apa. Ada orang lain yang lebih membutuhkan ketimbang aku." Aku merasa tidak pantas menerima bantuan, lalu kuberikan info penyaluran bantuan kepadanya.
Subuh menjelang, air sudah surut sampai teras. Hujan masih terus menguyur namun tidak lebat. Ketinggian banjir berangsur turun. Para pengungsi banyak kembali ke rumah. Hari ketiga, jalanan masih menyisakan genangan banjir setinggi setengah lutut orang dewasa.Â
Sungguh,aku sedikit merasa bersalah karena baru membantu. Mereka biasanya mendapatkan nasi dari relawan. Ketika pagi mereka tidak dapat jatah makan karena nasi baru diantar relawan pada siang hari.
Satu tindakan kebaikan yang dilakukan akan memancarkan lebih banyak energi positif. Energi baik pun hadir untuk giat membantu. Â Memang secara materi menyumbang uang, Â aku tidak mampu. Sebisaku seperti mengumpulkan penggalangan dana dari komunitas mahasiswa di kampus asalku dan menjadi relawan membagi-bagikan sembako.
Serasa hati senyum-senyum sendiri, berterima kasih kepada diri sendiri karena bisa melakukan perbuatan kebaikan ini. Energi baik tidak akan pernah kurang jika kita senang berbagi kebaikan kepada orang lain. Selagi terus bersyukur kepada Sang Maha Kuasa , energi positif itu ada terus hadir yang menuntun kepada kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H